DALAM PENUBUHAN SILAM.

SEBUAH PENUBUHAN SILAM. Hisbat ini, satu otoritas ini, membutakan mata semua orang. Tak ada yang mengingat posisi mereka sebelumnya. Mereka telah dikuasai kuasa. Padahal yang mahakuasa hanyalah pemilik semesta. Hentikan, sudahlah, hentikan. Jangan biarkan kekuasaan menggerogoti tiap inci batang tubuh hingga keropos sisi jiwanya.






KEMARIN Jemish benar-benar dimainkan tali amarahnya. Selepas kekacauan dalam gedung percetakan kemarin. Orang semakin kesal pada apa yang ia kerjakan. Bahkan dia tak yakin jika rekan-rekan itu sudah memaafkan dirinya.

Maka ketika ia mengetahui bahwa Ian keluar dari sebuah ruangan dengan meringis kesakitan, akibat dipukuli oleh Amon, hukuman yang diberikan olehnya. Jemish mulai tak terkendali. Dia mengamuk langsung, ditambah melihat banyak luka lebam singgah pada perut Ian yang sudah dipukuli.

Saking tersulut api emosinya. Siapapun tak bisa memadamkan. Jemish merusak CCTV ruangan yang ada di basemen, lalu gudang senjata, lalu dekat pintu utama. Ia berteriak ke arah CCTV dengan harapan, Loren juga Kaz bisa mendengarnya.

“Gua kasih tahu, ya. Kalau besok adalagi yang berani nyentuh Ian, bakal gua bunuh satu-satu.” Setelah mengatakan itu dengan tegas. Jemish menembak CCTV menggunakan senjatanya. Tindakan tersebut jelas dimarahi Oliver. Tapi ia tidak peduli. Sebab memukuli seseorang tak bersenjata, adalah larangan juga bagi mereka.


Pagi hari ini di Las Vegas terasa asing bagi para sandera. Mayoritas penghuni sana akan terbangun setelah menerima cahaya mentari yang datang dari langit bersama bunyi berisik alarm pengganggu, mengingatkan mereka akan terlambat pergi kerja atau mereka tidak sempat sarapan dahulu. Namun tidak hari ini, manusia-manusia itu terbangun dengan rasa kelaparan. Tanpa adanya cahaya mentari, tanpa udara segar, tanpa bunyi berisik alarm atau dentingan jam, tanpa harum masakan dari dapur, dan teriakan tetangga sebelah rumah. Di sini, hanya ada dingin dan sunyi. Terbangun bersama rasa takut dan panik apakah mereka masih hidup sampai nanti hari bertemu malam atau tidak.

Ian mengedarkan matanya menatap satu-persatu semua sandera, hingga matanya menangkap sesosok sandera perempuan yang terlihat paling diam di antara semua sandera. Didekatinya sandera tersebut, lalu Ian menarik pelan penutup mata yang dikenakan olehnya hingga terlepas. Sandera perempuan itu nampak sangat ketakutan hingga tak berani menatap mata Ian barang sedikitpun. “Siapa namamu?” tanya Ian yang dijawab takut takut oleh sandera tersebut, “Elisa,” ucapnya pelan.

“Elisa, you have to do my order,” ujar Ian.

“W—... what is that?”

“Kau harus pergi ke luar untuk mengumumkan pada aparat kepolisian bahwa ada enam puluh tujuh total sandera, dan semuanya memakai kostum yang sama dengan kami. Sehingga, aparat tidak memberikan serangan agar tak ada sandera terluka. Saat kau mengumumkan itu nanti, kau akan menggunakan topeng untuk menutup wajahmu dan juga pengeras suara agar suaramu terdengar lebih jelas. Aku dan empat sandera yang lain akan pergi bersamamu. Kau mengerti, Elisa?”

“Y—.... ya, aku mengerti.”

Ian tersenyum. “Bagus, sekarang pilih empat sandera yang akan pergi bersama kita,” titahnya. Dengan ragu-ragu Elisa menunjuk seorang sandera di depannya, “Dia,” ucapnya. Ian mengangguk, lalu mendekati sandera tersebut dan menarik penutup matanya, “Kau ikut bersama kami.” Kegiatan itu terus berlanjut hingga terkumpul empat sandera lainnya.

Ian memberikan topeng untuk dikenakan pada mereka, termasuk Elisa, lalu memerintah para sandera yang terpilih itu untuk keluar. Setibanya mereka di luar, mereka telah dikepung oleh barisan pasukan militer bersenjata yang siap menembaki mereka kapan saja. Ian memberikan seperangkat alat pengeras suara kepada Elisa, pertanda bahwa perempuan itu harus segera melaksanakan tugas yang diberikan. 

Elisa meremat pengeras suara yang ia bawa, ia merasa sangat ketakutan. Perempuan itu mulai membuka suaranya, “A—... aku ingin menyampaikan kepada aparatur sipil dan kepolisian, bahwa semua enam puluh tujuh sandera memakai kostum yang sama dengan para penyandera. Jadi, sebaiknya, aparatur sipil dan kepolisian tidak memberikan serangan apapun, agar tidak melukai para sandera,” ucapnya terbata-bata. “Dan enam puluh sandera tersebut dalam keadaan baik-baik saja, tidak mengalami perlakuan fisik seperti kekerasan dan tidak dilukai. Kami masih diberi makanan dan minum yang cukup.” Elisa mengakhiri ucapannya.

Aparat kepolisian pun mulai merasa khawatir sesaat setelah mendengar pengumuman tersebut, mereka berhenti menodongkan senjata setelah sang Inspektur memberikan arahan untuk tidak menembak. Setelahnya pun Ian, Elisa, bersama keempat sandera lainnya kembali masuk ke dalam gedung. Sesudah mereka di dalam gedung, Ian langsung ditodong dengan kabar bahwa terdapat salah satu sandera yang mengalami kepanikan berlebih dan membutuhkan udara segar. “Ian, ada sandera yang panik berlebih, gue rasa kita perlu bawa dia keluar untuk cari udara segar,” usul Oliver yang akhirnya disetujui oleh Ian. Demi kemanusiaan yang adil dan beradab.

“Di antara kalian, para sandera, apakah ada yang merasa membutuhkan udara segar? Silahkan angkat tangan, jika iya,” titah Ian. Ada sekitar enam belas sandera yang mengangkat tangan, terhitung tujuh belas bersama dengan sandera yang mengalami panik berlebih. Akhirnya tujuh belas sandera tersebut digiring menuju rooftop oleh Ian dan Oliver setelah diberi topeng untuk menutupi wajah mereka.

“Dengar, ini bukan ancaman, tapi aku minta pertolongan pribadi dari kalian, bukan sebagai perampok. Aku minta kalian memakai topeng, tutup kepala, dan keluar atap tanpa melakukan isyarat atau macam-macam. Hanya 10 menit. Kalian keluar, hirup udara segar dan kembali lagi, oke?” Mereka pun setuju. Sebelum keluar beberapa sandera diberikan senjata palsu untuk mengelabuhi polisi. Meskipun demikian mereka diberi kesempatan keluar, seseorang ada yang berpikir bahwa dia dijadikan umpan ke polisi oleh para perampok, sehingga ia ingin segera dibebaskan daripada mati di sana.

Waktu terus berjalan dan mereka sudah berada di rooftop sekitar lima menit lamanya. Setelah Oliver mengawasi keadaan sekitar, ia mulai sadar bahwa ada sniper dari gedung sebelah yang tak jauh dari gedung pencetakan uang tengah mengintai mereka dari atap. Lantas Oliver memerintahkan para sandera untuk tiarap supaya tidak mengira bahwa mereka semua perampoknya. Tidak semua sandera melakukan apa yang diperintahkan oleh Oliver, kebanyakan mereka berlari ketakutan dan menjauh dari barisan untuk berpindah tempat ke ujung atap atau lari masuk ke dalam. Dan terdapat salah satu sandera yang mulai memberontak agar minta dibebaskan. Ia bahkan menodongkan senjata palsu kepada Oliver dan Ian, serta mengancam akan membunuh mereka semua apabila tidak dibebaskan. “BEBASKAN AKU, KEPARAT! ATAU AKU AKAN MEMBUNUH KALIAN SEMUA!” teriaknya sembari menodongkan senjata secara asal-asalan.

Keadaan mulai tidak kondusif, para sandera berteriak ketakutan. Namun Ian tetap tenang, bahkan sempat terkekeh kecil. Semua orang mungkin bisa dibohongi oleh sandera tersebut, tetapi tidak dengan Ian. Ian bukan orang amatir soal senjata api, hanya dengan melihatnya saja Ian sudah tahu bahwa senjata milik sandera tersebut hanyalah senjata palsu. “Who are you again? Oh, jika aku tidak salah ingat, kau Martiaz 'kan? Martiaz, do you think I'm as stupid as you?” Ian tertawa kecil, “Jongkoklah! Kalau tidak, kau bisa saja mati.”

Martiaz justru semakin menggertak. “Cepat lepaskan aku dan bawa aku keluar!”

“Jongkok, bodoh! Ada sniper di belakangmu.” Oliver terlanjur emosi sebab sandera di depannya tidak ingin memercayai dirinya.

Tepat setelah Martiaz membalikkan badan. Ia terkena tembakan di bahunya oleh sniper tadi. Beberapa polisi yang memaksa untuk percaya dengan menembakkan peluru tersebut ke dia, menjadi bersalah. Karena dengan Martiaz yang tertembak itu ambruk, topengnya terbuka. Para polisi pun mengetahui bahwa ia termasuk sandera. Takut jikalau Martiaz bisa meninggal, Ian dan Oliver pun segera membopongnya masuk ke dalam gedung demi melakukan operasi bertujuan mengeluarkan peluru dari bahu Martiaz. Tentu ditemani alat seadanya.

Di markas polisi, semuanya menjadi ricuh dan inspektur yang mengurus negosiasi dengan perampok tersebut merasa menyesal telah memberikan perintah menembak. “Apa dia ada daftar dalam nama-nama sandera?” Inspektur benar-benar melayangkan tanya. Pertanyaan ia dijawab anggukan oleh kolonel pemerintah. “Ya, dia Martiaz Canyon. Manager gedung dari pengurus Badan Percetakan Uang Amerika.”

Inspektur pun nampak meremas pelipisnya. “Aku akan memberikan tawaran.” Ia bersiap menggunakan mikrofon dan menghubungi Kaz.

Kaz yang sedang sibuk dengan mengamati CCTV di dalam gedung percetakan, langsung teburu-buru menelepon Loren. Untuk berikan pesan bahwa seorang polisi akan mengajukan penawaran. Dan Loren yang tengah memikirkan rencana selanjutnya, datang kembali ke ruang rapat demi menjawab telepon tersebut. 

Loren dengan tenang menggunakan mikrofon lalu polisi tersebut menyapa. “Selamat siang.” Dan Kaz mengawasi pembicaraan keduanya dengan sedikit was-was.

Belum pula sapaan itu dibalas. Loren sudah langsung ke inti pembicaraan mereka. Loren berbicara dengan nada tertahan, seolah berusaha tetap tenang. “Kau menembak sandera. Salah satunya berjuang antara hidup dan mati. Karena itu kau hubungi aku.” 

Inspektur polisi duduk bersama dengan yang lain menemani di belakang. Ia mengalami sedikit syok dan berulangkali menggigit bibir akibat gugup. “Aku akan kirim ambulans untuk mengevakuasi korban yang terluka.”

Loren dengan cepat menjawab. “Tak ada yang boleh keluar.” 

“Dia banyak keluarkan darah.”

“Itu akibat tembakan dari peluru kalian.”

Inspektur bingung. Menatap ketiga rekannya di belakang panik. “Lalu kau akan membiarkannya mati?” Loren hanya diam. “Biarkan kami mengirim tim medis kesana.” 

Masih ada diam di sana. Inspektur kembali memohon maaf. “Dengar, aku tahu ini kesalahanku, tapi bila ada sandera yang meninggal, akibatnya akan buruk bagimu dan juga aku. Karena dalam kurun waktu kurang dari lima menit, publik akan tahu bahwa seorang pria mati karena kau tidak mengijinkan tim medis masuk dan menolongnya.” 

Loren menimbang-nimbang keputusan itu sejenak. Lalu ia menerima kedatangan tim medis. “Dua ahli bedah dan satu perawat dengan peralatan bedah. Beritahu aku setelah mereka datang.” Inspektur pun berterima kasih, kemudian Loren langsung menutup teleponnya.

Ia akan menyuruh Kaz untuk mengawasi mereka, jika ada sesuatu terjadi yang di luar rencana maka perlu mengabari dirinya juga. Dan demikian Loren bisa membantu sedikit apabila rencana mereka tidak cocok dengan milik polisi. Agar kejadian lalu tidak kembali terulang. Setidaknya dalam sehari ini saja. Setelah merasa cukup memberikan informasi kepada Kaz. Loren keluar dari ruang rapat, pergi menemui Roger yang tengah menunggu kehadiran Amon sebagai pemeran penting antar ikatan jalan rencana berikutnya.


Atas suruhan pemimpin penyerangan, Ella pun menyuruh para sandera yang sudah terpilih untuk memakai topeng mereka lalu berjalan mendekati pintu utama gedung percetakan. Ada setidaknya lima sandera terpilih. Dan Ella yang akan membukakan pintu, ketika sudah waktunya menyambut kedatangan dua ahli bedah bersama satu perawat. Begitupun Kaz, sudah siap mengawasi pergerakan mereka.

Alarm tanda pintu terbuka pun berbunyi keras. Tiga orang datang memasuki gedung sembari membawa alat-alat mereka. Salah satu sandera yang seolah menjadi perampokan menyuruh untuk para tim medis tersebut meletakkan barang-barang mereka di bawah. Lalu Ella menutup pintu utama gedung. Mereka pun maju ke depan secara perlahan-lahan.

Kaz terus mengawasi sampai sosok ketiga orang yang mengaku tim medis tersebut telah tertangkap di kamera CCTV. Ketika mereka digeledah oleh para sandera atas perintah perampok. Kaz mengamati betul-betul bentuk wajah salah satu orang dalam tim medis itu, ia selalu menengok ke arah CCTV sehingga makin jelas bagaimana penggambaran visualnya. Dan ketika Kaz memperbesar layar CCTV, ia mengenali bahwa salah satu orang tersebut adalah polisi yang tengah menyamar menjadi ahli bedah. Bagaimana bisa Kaz tahu? Tentu saja karena ia menyaksikan berita di TV, polisi tersebut selalu menjawab pertanyaan para reporter sehingga tak jarang Kaz menonton eksistensi polisi tersebut.

Kaz pun berjingkrak-jingkrak sebentar. Rupanya semua sudah berjalan sesuai dengan rencana Loren. Persis ketika Kaz mengetahui ini, cepat-cepat ia telepon gedung percetakan yang di mana alat komunikasi tersebut diletakkan pada meja ruang rapat. Sebuah kebetulan bahwa Ian, lalu Oliver, juga Jemish sedang berkumpul di sana. Mereka langsung menjawab telepon. “Ian, dengar. Salah satu perawat adalah polisi yang menyamar. Kau tahu kan apa yang harus dilakukan?”

Ian mengangguk pelan meski Kaz tak sedang melihat CCTV ruangan yang ia tempati. “Yang mana orangnya?” Kaz pun dengan secepat kilat menjawab. “Yang pakai kacamata.” Rupa Ian berubah menjadi senang yang ia tahan supaya tak melonjak. Setelah telepon tertutup, ia ajak kedua rekannya menemui tim medis tersebut. Sembari mengingat-ingat apa rencana mereka ketika Loren jelaskan yang harus dilakukan.

Rencana ini dipaksakan berhasil sertai tepat. Agar tak mengacau. Apapun penyamarannya entah itu pengantar pizza, petugas PMI, atau pekerja rumah sakit. Mereka tetap akan masuk. Mungkin saat penggerebekan, ataupun situasi darurat. Jelaslah, mereka berusaha menyusup.

Sampai di pintu utama, tentu sudah memakai topeng khas perampokan. Jemish memberikan wadah plastik bening kepada tiga manusia dari tim medis. “Tinggalkan semua benda metal di baki itu.” Ian menunjuk ke hasta Jemish yang sudah menyodorkan wadah. “Termasuk jam tangan, kacamata. Kalau kalian punya senjata, mikrofon, aku sarankan diletakkan juga di situ.” Ian melirik ke arah gerak-gerik mereka. “Kami akan melacak semua jenis frekuensi radio. Jadi perlu untuk meniadakan komunikasi apapun.” Ian pun melirik bagian bawah tubuh para tim medis. “Lepaskan sepatu kalian juga. Tolong.” 

Setelah menyuruh para sandera tengkurap di lantai. Jemish memberikan wadah plastik itu kepada Oliver, mengambil kacamata milik salah satu perawat. Oliver sudah siap mengoperasi benda mati dengan sarung tangan dipakainya, khas operasi juga. Ia menerima benda itu. Lalu secepat mungkin menyelundupkan alat penyadap suara ke dalam kacamata itu. Hal tersebut berhasil terjadi kurang dari semenit.

Setelah selesai, kacamatanya dikembalikan pada wadah dan Jemish memberikannya kepada tiga manusia dari tim medis tadi. “Silahkan ambil kacamatanya saja. Aku yakin kau butuh itu.” Dan polisi yang tengah menyamar, mengambil kacamatanya lagi tanpa mencurigai apapun. Dari jauh, Kaz paham rencana mereka berhasil sehingga ia mencoba untuk menghubungkan alat penyadap suara kepada speaker aktif di mobil markasnya. Dan betul saja, suara Ian yang berterima kasih akan tim medis karena telah sudi datang sembuhkan sandera yang terluka, terdengar jelas di markas Kaz padahal suara tersebut bukan berasal dari CCTV melainkan alat penyadap itu. Kaz pun tersenyum senang ditambah bahagia sekali rencana berjalan lancar tanpa kendala apapun.


Operasi untuk sandera yang terluka itu harus tepat dilakukan selama 25 menit seperti yang telah diperintahkan oleh inspektur. Hitungan tersebut akan berikan waktu pada dua polisi yang pakai topeng dan juga rompi merah khas para perampok Suargaloka untuk beradu di dalam percetakan kira-kira dalam waktu 18 menit mereka harus masuk, atau jika ada yang tidak beres, dua mayat dalam lubang ventilasi. 

Kaz melamun, ia sedang berniat ingin telepon Loren atau tidak. Namun dirinya menangkap gelombang percakapan dari sebuah radio. Terekamnya memang samar-samar dan tidak terlalu jelas tengah membicarakan apa. Maka Kaz mencoba mengeraskan volumenya. Tapi tetap ia tidak mendapatkan suara apapun kecuali bunyi tiiiitttt— yang melengking tinggi.

Kaz masih tidak mengerti darimana mereka mendapatkan pakaian dan topeng khas serupa milik Suargaloka. Mungkin bisa mereka beli dari salah satu pendemo, pemberontak, yang telah mendukung para perampokan juga. Saat Kaz mencoba beritahu Ian kembali, bahwa mereka para polisi tengah menyiarkan gelombang pendek dan dienkripsi. Ia benar-benar tidak tahu darimana asal gelombang radio tersebut. Dengan informasi dari Kaz, tim golongan A pun bersiap mengaktifkan rencana B. Lalu penuh ketegasan, Kaz meminta agar dokter serta tim medis tersebut segera keluar.

Ketika hanya tersisa jarak 2 meter dari pintu utama, Kaz tahu bahwa deputi inspektur polisi tahu dalam sekejap mereka telah kalah. Sebab ketika ia kembali dari kamar mandi yang dia paksakan pergi ke sana atas sandiwaranya ingin muntah, para perampok hingga sandera menukar topeng sebelumnya. Tanda muncul topeng seram berarti para polisi akan lemparkan dua orang utusan ke mulut serigala. Juga orang yang merencanakan perampokan itu lebih pintar dan punya akal serta imajinasi ketimbang para polisi, Badan Intelijen Negara dan Unit Intervensi. Lalu ketika mereka berada di atas angin, tiba saatnya mereka untuk lari sekencang mungkin.

Meski Kaz sudah menyalakan penghalang frekuensi radio. Sistem komunikasi mereka harusnya putus. Tetapi setelah para ahli bedah tersebut berjarak sekitar 300 meter menjauh dari gedung percetakan, mereka berlari secepat mungkin menghampiri tenda polisi untuk memberitahu bahwa para komplotan telah mengganti topengnya.

Inspektur polisi wanita yang tahu bahwa dua orang utusan mereka bisa langsung dibunuh jika tetap nekat turun dari ventilasi. Maka habis sudah. Di detik-detik terakhir sebelum dua orang itu benar-benar turun tangga, komunikasi mereka berdua kembali tersambung. Inspektur segera memberitahunya untuk mundur dan menghentikan penyusupan tersebut. Dari sini Kaz bisa mendengar jelas teriakan inspektur polisi yang ketakutan jika dua orang itu jadi masuk ke gedung. Ia melayangkan senyum geli kemudian memberitahukan pada Ian kalau semua dapat bersantai sekarang. Plan B sudah berjalan sesuai rencana. Para polisi mundur.


Gedung percetakan yang tadinya huru-hara kini telah kondusif kembali. Ini baru awalan. Ella melangkah ke ruangan di mana para sandera ditahan. Begitu kehadirannya disadari, suasana ruangan yang tadinya tenang berubah riuh menuntut kebebasan.

“Keparat sialan, lepaskan kami dari sini.” Yang paling bongsor memulai protes diikuti sorakan pemuda lain. Yang gadis hanya diam bak burung dalam sangkar memasang wajah takut yang sangat Ella sukai.

“DIAM!” Si Bongsor yang tadinya memasang wajah marah kini terdiam begitu Ella memicing mata. Ia mendekat dan menodongkan revolver yang sedari tadi ia sembunyikan, bukan, bukan ke arah pria itu. Kini ujung revolver itu berada tepat di pelipis sang gadis. Ia tersenyum sedang yang pria bergidik.

“Bersyukurlah aku kini sedang bekerja, nyawa kalian sama bergunanya denganku. Because if you meet me in the other time, I won’t guarantee your safety,” ujarnya lalu menyimpan revolver itu. Ia terkekeh kecil mengingat reveolver itu tak berpeluru sama sekali. 

“Tapi, bukankah badanmu cukup bagus untuk sekadar lari dariku?” Ella tersenyum kepada sang bongsor yang kini sepertinya tersipu bagai anak anjing yang diberi pujian.

“Ah, aku hampir lupa. Jadi, sebagai sandera, tentu saja kalian harus berguna bukan?” Ella memasang wajahnya yang tersenyum bak malaikat, namun, tak seorangpun yang ikut tersenyum bersamanya di ruangan itu.

“Kalian yang merasa wanita, pergi kesana dan cetaklah uang sebanyak mungkin.” Ella menunjuk kea rah dimana mesin cetak terletak dengan apik, siap ‘tuk digunakan. Segera para tawanan berlari demi menghindari tatapan sang dominan.

“Yang merasa pria dan masih ingin jadi pria, ikuti aku. Jangan melawan, aku terlalu malas untuk melukai kalian.” Ella beranjak dari ‘penjara’ yang dianggapnya terlalu bagus untuk jadi tempat tawanan. “Ini bahkan lebih bagus dari kamarku dulu dan aku bukanlah tawanan,” batinnya.

“Tugas kalian para pria sangat sederhana, galilah terowongan.” Semua yang mendengar mengernyitkan dahi seolah mengumpat sang gadis dalam benak. 

Ella seolah tahu apa yang para pria itu pikirkan membuka suaranya, “Ah, aku sungguh kecewa. Ayolah, tugas itu sangat sederhana. Dengan tubuh kalian yang sangat bagus bukannya ini hanya seolah membalikkan telapak tangan?” Kini raut masam dipasang Ella, seolah menjadi anak kecil yang merajuk karena keinginannya tak dituruti.

“Kalian menyuruhku untuk melakukan hal berat ini sendirian?” Kini para pria menunduk dengan canggung seolah memikirkan ulang tentang tugas yang Ella berikan. Bagaimanapun juga ego pria terlalu besar untuk mengabaikan gadis muda macam Ella, terlebih dengan parasnya yang tak buruk. Gotcha!

Ella tersenyum penuh kemenangan setelah para pria itu dengan pasrah melakukan apa yang ia tugaskan. Meski berhasil, ia memaki dirinya sendiri telah bersikap bagai bukan dirinya. Sial, aku merasa macam jalang murahan.





BERSAMBUNG.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PEPERANGAN EGOSENTRIS.

HARKAT DITINDAS HABIS.

BIDAK-BIDAK CATUR.