HARKAT DITINDAS HABIS.
RATA IALAH LENGKARA, kita hidup di atas ketimpangan nan menjadi inang lara; kerap kali undang prahara, sesekali jadi bahan tertawaan para khalayak massa. Moral berat sebelah, tabiat baik seakan tersendat oleh ego yang tak sanggup kalah.
Ah, barangkali maksudnya ialah seimbang, bukan sama rata; sedang seimbang tak hanya lebih dari semangkuk bimbang yang akan terus sambangi lidahmu hingga kenyang. Agaknya, akan menjadi demikian, bahwa yang punya kuasa lebih akan terus berkembang.
—
SEDANG ada karut-marut yang bersinggah di kepala Loren sedari pukul dua pagi. Dirinya masih terjaga demi memikirkan suatu hal di mana kepeduliannya tak harus berada dalam tempat itu. Ia sangat, bagaimana cara polisi menemukan keluarga dia jikalau mereka saja tak tahu Loren siapa. Pertanyaan tersebut berkali-kali dia lemparkan hingga lelah berputar-putar di sana. Loren memilih menyerah. Tak perlu terlalu dipikirkan menurut pandangan Loren, pun ia sudah tak memiliki hubungan dekat dengan mereka lagi.
Loren lanjutkan membilas kedua tangan. Dia tengah sendirian di kamar mandi milik gubernur hanya karena tidak ingin memakai toilet umum. Terlalu ramai untuk keamanan privasi, bilamana ada orang lain pergoki dirinya yang bertelanjang dada, Loren tidak nyaman.
Tok tok.
Dua ketukan pada pintu hadir, kedengarannya lembut tanpa menuntut. Sekarang jam hampir menunjukkan pukul tiga pagi, Loren hendak membersihkan tubuh kalau saja seseorang tidak datang mengetuk pintu kamar mandi dari luar. Cukup terkejut sebab masih saja ada yang terjaga sepagi itu selain dirinya.
Loren mewanti was-was sampai orang tersebut berbicara. “Loren, are you in there?” Itu suara Roger. Mendengar suaranya, buat Loren berpikir mengapa Roger terbangun atau mungkin belum juga tertidur?
Loren kembali memakai kemeja, mengaitkan kancing kemudian membawa kaki berjalan mendekati pintu dan membukanya. Terlihat di sana berdiri Roger tanpa membawa senapan, tanpa menggunakan rompi merah khas. Hanya kaus sporot putih polos dengan celana hitam panjang terpasang menutupi seluruh kaki. Lalu beriringan keduanya masuk ke dalam.
Roger sangat mengerti jika Loren tidak akan tenang apabila ada sesuatu yang datang mengganggu pikiran, maka tepat setelah itu. Loren langsung berbicara, “Mungkin aku harus keluar gedung sebentar, mengecek sesuatu.”
Roger mengernyit heran. Ia menunggu kalimat Loren selesai. “Inspektur mengancam akan menangkap keluargaku semasa negosiasi dilakukan. Aku tahu, mereka tak bisa melakukannya jika tak ada yang tahu identitas asliku. But, I have to go.”
Sesaat lepas mendengar kalimat terakhir, Roger menyahut cepat. “I'm coming along.” Loren seakan tak percaya mendengar itu. “What?” Roger kembali membalas, “Mau kemana pun kamu pergi, aku harus ikut.”
Loren menggeleng kukuh. “No need. Lagian kalau ada kesusahan, aku bisa minta tolong Kaz, dia juga ada di luar gedung.”
Roger menghela napas pelan. “I can't entrust you to anyone else if it's not me.”
Loren menatap Roger tak mengerti. “Aku nggak akan kasih ijin kamu ikut. Kamu pemimpin penyerangan. Kalau kamu nggak ada, nanti tim bisa kacau.” Tim golongan B kekurangan anggota, jelas, meski ditambah rekan kerja bayaran tapi situasi mereka tidak aman.
Roger maju tiga langkah ke depan, mengambil kedua tangan Loren lalu menggenggamnya. “Aku memang seorang perampok, aku tahu itu. Aku juga seorang pemimpin, aku tahu itu. And I'm also your lover, Loren. We're not a couple like Bonnie and Clyde tapi aku cepat belajar dan aku tidak takut. Just, let me, please.”
Tatapan heran penuh kebingungan terpancar dari kedua netra amber Loren. “Why do you want to come with me so badly?”
“Because I don't want you to get hurt, that's why!” Roger hampir membentak kalau saja dia tidak mengendalikan tempo bicaranya.
“I can protect myself, Roger.”
Roger menggeleng pelan. “There's nothing in this world nor any other, that would stop me from protecting you.”
Loren terdiam sejenak. Ada jeda hening selama beberapa detik di antara keduanya. “Listen— ...”
Roger menggeleng. “No. You're the one who have to hear me.” Roger menunjuk tepat ke dada Loren yang lebih tinggi, lalu balik lagi menunjuk diri sendiri. “I've been ready to fight since I was a child, and I'll just get scolded afterward. Even slaughtering my own family, is a very easy things to do. But my aim changed now after meeting you in our first moment, I just want to protect you wholeheartedly. So if you tell me to let you go out there without anyone escorting you, I can't, Laurie.”
Laurie. Panggilan itu dilontarkan setelah sekian lama tidak dioperasikan. Perjumpaan perdana mereka yang terunik, namun Loren terlalu syok mengetahui jikalau Roger peduli padanya.
Loren menatap kedua manik mata Roger. “You have to focus on the robbery, with that money you can go home, right?”
Roger menggeleng lemah, balas tatapan Loren dengan memohon. “No. I didn't care about the money, I only cared about you.”
Loren meringis. Ia takut Roger terluka juga. “If you cared about me, you'd do what I'm asking.” What a such manipulative person he is, Loren.
“NO. I'm not going to just sit here waiting for them to kill me and die until you finally come back, I really can't.” Roger berkata sambil berkali-kali melayangkan tunjuk ke jejeran jendela kamar mandi yang terhubung dengan pemandangan depan bank. “Let me be your safeguard, okay? I can fight those who want to hurt you.”
Loren memberentang genggaman mereka. “But you'll die if you come with me!” Kedua iris mata emas kecoklatan milik Loren hampir tertutup air. “Remember that incident in the bank vault because you were reckless to yourself? Aku nggak mau itu kejadian lagi. You almost died.”
Roger menarik satu napas. “I survived.”
“You were lucky.”
Roger mendekati Loren, beruntung si empu tak menjauh. Ia meraih rahang yang lebih tinggi, “If you truly believe in our teamwork— ...,” ada jeda dari ucapan Roger, ia mengelus pelan pipi pada genggamannya dengan ibu jari, “then don't do it alone. We must face it together.”
Loren terperdaya. Muncul suatu magis yang pada akhirnya menarik diri jatuh lebih dalam. Dia sudah mencipta mantra-mantra jatuh hati.
“Together?”
“Together.”
Roger menjawab penuh keyakinan. Mata keduanya bertemu dalam jarak yang lebih dekat. Menatap sayu-sayu, perkataan setajam belati bersama ego setinggi gengsi, kini redup. Tergantikan oleh terang benderang satu ruang di mana sebelumnya diserang hujan badai.
Loren mengangguk. “I let you come with me.”
Konversasi berakhir dan tanpa sepengetahuan mereka, Amon menguping pembicaraan dari luar kamar mandi menjadi diam membisu. Terkejut mengetahui bahwa Loren dan Roger hendak tinggalkan bank. Amon yakin mereka pergi tanpa pamit, agar sedikit orang tahu. Ia mengukir dalam hati supaya dapat beritahu Kaz esok pagi. Tanpa menunggu lama, Amon meninggalkan tempat awalnya dia berdiri.
Ada percikan api berbahaya muncul kelilingi dua pemuda. Bersama bisikan hantu ruangan. Kontak mata terputus sedetik setelah Roger menatap kedua belah bibir Loren yang digigit sendiri, akibat gugup melanda. Loren lanjutkan ujaran, “Is it so obvious how infatuated I am?”
Terdapat sinar terpancar dari netra emas kecokelatan Loren, namun air halangi indah pendarnya. “Why are you crying?” tanya Roger.
Loren melepas gigitan pada bibir. Ia meraih wajah milik Roger, memberi gestur hendak lontarkan ciuman lembut. “Don't you know?”
Roger mengikuti ritme gerakan pelan kepala mereka, hidung bersinggungan. “Yes, I knew exactly.” Secara cepat Roger meraih bibir Loren, disambut yang lebih muda penuh sukacita. Mereka saling melahap habis seolah angin bisa merebut kesempatan. Melumat bibir masing-masing demi berlomba-lomba siapa mencapai garis akhir dalam goa mulut lebih dulu. Roger memenangkannya, alat perasa itu terjulur masuk lewati pintu bibir, mengelilingi seluruh sudut hingga terasa barisan gigi-gigi rapi milik Loren. Lidah mereka saling beradu, bergantian mengulum jua, lalu berkali-kali ditabrakkan, hingga liur tumpah ruah berceceran basahi dagu Roger dan Loren.
Tiada berani mengais udara lebih dulu agar tak mudah mati hanya karena kehabisan napas semasa asik bercumbu, entah Loren maupun Roger, keduanya mustahil berhenti. Meski punggung terasa kebas, kaki melemas. Belakang persis ada kaca sedang pandangi secara mesra. Sentuhan-sentuhan kecil dari satu kuasa Roger menjalar ke dahi, tergerak mengusap kepala Loren lembut hingga kena rambut pirang panjang itu, “Laurie,” bisiknya di sela-sela percumbuan yang terputus, “don't cut your long hair, it looks beautiful on you.” si pemilik beri anggukan. Kegiatan berlanjut, telunjuk Roger perlahan susuri wajah Loren, mengelus pipi dan ibu jari membelai belah bibir, lalu pakaian cepat ditanggalkan. Terpampang jelas banyak tato menghiasi. Tak mau kalah, Loren yang sibuk terhipnotis, ikut melucuti Roger. Hingga tubuh sama-sama telanjang.
Loren dipaksa berbalik menghadap kaca sebesar tinggi badan ukuran 170cm x 60cm. Netra hitam seindah berlian milik Roger menatap Loren melalui cermin. Pandangi segala sudut raga yang kini terpajang tanpa balutan apapun, tubuhnya dijelajahi, dijajah, dijamah, dilahap habis euforia. Porselennya berkilauan sebab peluh sebab mereka sudah puas bercumbu, dilukis ruam-ruam mirah semu hampir ungu. Tubuh Loren hampir ambruk, ia bisa menggelepar jatuh ke lantai bila Roger lepas tahanan ujung kaki. Ia pastikan Loren tak kemana-mana saat Roger buat dirinya benar-benar tenggelam di dalam. Jari-jari panjang meraup rahang supaya tetap mendongak agar balik menatap pada cermin.
Loren merengek. Resonansi pita suaranya mirip kaset rusak. Ia menangis akan nikmat selagi jari-jari Roger menari di seluruh sudut tubuh, dan kejantanan besar milik Roger di bawah sana menyelusup masuk ke dalam belahan paha tepat setelah Roger angkat salah satu kaki Loren. Nampak Loren dilacuri sang terkasih dari cermin, ingin pingsan, tapi terlalu tak sudi lewati ini dalam bunga lelap. Ditiduri depan kaca dengan posisi berdiri dan kaki disangga tinggi buat dia kalap-menjerit, sesaat hentakan mulai dirasakan Loren. Oh, ini terlalu banyak. “Argh! Hah— Reiner, Reiner— ah!”
Yang dipanggil bungkam. Seolah menulikan diri. Tanamkan kecup di leher Loren, memberi dukungan, lalu sedetik kemudian itu bergerak makin kesetanan. Loren melengking. Tapi yang Roger tangkap hanya hening. Ditatapnya lagi mata sayu si cinta dari cermin. Pemandangan paling menakjubkan. Siluet tubuh indah Loren terpahat sempurna berkat refleksi bahari.
Loren hampir jatuh sebab tak menyanggupi menumpu badan. Tetapi, peduli setan. Ia tak ingin cepat-cepat selesai. Dia terus meremas pelan helai-helai rambut Roger selagi pemuda itu terus menghentak-hentak di bawah sana. Mereka hilang kendali atas akal pikiran. Loren sendiri terbuai dalam pelacuran. Ia hanya bisa menerima saat lidah Roger menjulur pada sisi ruang gala, mencetak jejak kebiruan, sedang kuasa yang tak menopang berat kaki kanan sibuk merayapi dada, memelintir puting dan meraba segala bagian yang bisa diraihnya. Roger ada di mana-mana, menghancurkan kewarasan, menghantui akal sehat Loren.
Roger tak henti menandai kepemilikan, ia tahu esok pagi itu susah hilang. Selagi berkeliaran, bibirnya mengucap puja-puja, “Pretty, pretty, Laurie.” Ia jilati permukaan leher. “O’ honey, you're so fucking beautiful.” Helai rambut Roger awut-awutan akibat remasan. Si pemilik sibuk curi kecup jua gigitan. “Cantik banget, sayang. Kamu yang paling cantik.” Puas, manik mata menatap kegiatan bersenggama mereka dari pantulan kaca. Menyaksikan Loren buka katup bibir sembari keluarkan pekik kenikmatan tiap kali yang lebih muda menusuk lubang analnya keras. Roger terbangkan mereka demi lintasi surga. Dan klimaks sukses hadir menyerang, keduanya pun mengerang. Keringat berderai, hingga jatuh menetes dari tubuh dua sejoli.
Loren terengah-engah, tatapi Roger di mana tetiba lebih tinggi dari dirinya. “Reiner.” Roger balas panggilan sembari merengap. “Laurie.”
Dua utas senyum tercetak lebar. “I love you.”
“I love you.” Kemudian Roger merampas satu kecupan lembut lagi pada bibir Loren, lalu beri peluk dengan gembira. Mereka paut-memaut. Selama-lamanya. Tanpa akhir. Tanpa detensi.
—
Keesokan paginya, lima jam lepas Amon pergi menyaksikan Loren beserta Roger keluar bank melalui jalur basemen semasa mentari belum menampakkan diri sebab masih pukul 4 pagi. Ia langsung melapor kepada Kaz di mana si pengamat jelita masih terlelap dalam bunga tidur. Namun mata terbuka lebar saat Amon memberikan warta, dan Kaz sendiri bahkan tidak mengetahui di mana kedua pemuda itu. Ia pun bilang kepada Amon bahwa titik lokasi tidak jauh, jadi mereka masih bisa ditemukan. Dan sementara itu menunggu komunikasi dari Loren, Amon coba koordinasi penyerangan.
Pukul sembilan pagi, lebih tepatnya di gedung percetakan uang, Jemish kini mondar-mandir mencari keberadaan Kaz, bersamaan dengan itu, Jemish melihat siluet Ian sedang berdiri sendirian. “Woi Ian,” panggilnya seperti ingin mengajak tawuran. “Apa sih, ngagetin aja lu,” sahutnya sedikit terkejut.
“Lu lihat Kaz masih di luar gedung nggak?”
“Oh enggak, gue daritadi di sini, jadi belum liat,” mendengar itu Jemish sedikit frustasi. Ia berdecak, “kemana lagi si Kaz? Coba lu bantu carilah,” perintah Jemish tak sabaran.
“Ya mending kita cari sama-sama. Lagian ada perlu apa sama dia?”
Belum sempat menjawab pertanyaan Ian, terdengar suara telepon masuk. “Panjang umur,” sahut Ian.
“Halo Kaz, lu dicariin Jemish.”
“I'm here. Ada apa nyariin gua? By the way, gua cuman mau bilang kalau gua baru aja dapet kabar dari Amon, dia ngelihat Loren keluar gedung. Kacaunya, nggak ada suatu komando apapun yang ditinggalin Loren buat kita,” jelas Kaz dari dalam telepon.
Sekarang semua anggota dari golongan A mengetahui keberadaan Loren yang keluar gedung tanpa memberikan komando, dan tak kunjung memberi kabar kepada mereka akan rencana selanjutnya . Di gedung percetakan itu semua anggota berkumpul tentu kecuali Amon dan Nadhin yang masih sibuk atur tim di bank serta Kaz terhubung dengan telepon.
“Terus kita gimana jadinya?” tanya Oliver.
“Bener nih. Masa dia lepas tanggung jawab gitu aja,” timpal Jemish.
“Emangnya lu nggak tahu apa Loren perginya kemana?” tanya Ian kepada Kaz lewat telepon.
“Enggak. Tapi gua lihat ada aparat keamanan lagi cari jejak dia yang pergi. Entah ya gimana bisa bocor. Menurut lu pada ngapain?” Kaz mengingat-ingat.
“Tertangkap?” Oliver menebak.
“Ah, nggak mungkin, dia nggak akan mudah ketangkap. Dia itu keluar, bukan menyerahkan diri. Paham 'kan maksud gua?” jelas Kaz percaya diri.
Selama hening tetiba datang menguasai, Ella bersama ide solusi melarikan dirinya keluar di saat yang tak tepat. “Kenapa kita nggak kabur aja?” timpal Ella yang tadi hanya diam saja.
Ian sentak menengok, “Kabur? Ya janganlah. Lagian kenapa lu mau kabur, takut?” tanya Ian.
“Ya terus mau sampai kapan kita disini?” Ella menghentakkan kaki mulai kesal.
“Lu bisa sabar sedikit aja nggak, Ella?” ujar Jemish yang ikut kesal dengar perkataannya.
“Mending kita tunggu kabar dari Loren, jangan main kabur aja. Lagian buat kabur dari sini juga nggak semudah kelihatannya.” Kemudian Ian berusaha mengendalikan emosinya.
“Daripada berantem mending kita lakuin vote, dan gue akan ngasih dua pilihan,” ujar Oliver sebagai penengah di antara mereka. “Pilihan pertama, bakal kita tunggu perintah dari Loren yang kita enggak tahu kapan dapatnya. Pilihan kedua, kabur dengan semua duit yang udah kita cetak. Tapi gua enggak menyarankan buat ikut pilihan yang kedua sih,” usul Oliver. “Kalau pilihan gue jelas bakal ada di pilihan pertama. Kalian gimana?” lanjutnya.
“Pilihan pertama, gua setuju.” Ian pertama kali ambil suara.
“Gua juga opsi pertama, ngikutin Ian.” Dilanjut oleh Jemish.
“Gue opsi kedua, terlalu lama kita nungguin keputusan dari Loren!” Lagi-lagi, Ella berbeda pendapat dengan teman-teman yang lain.
“Gua bilangin buat kalian yang ada di sana, jangan gegabah! Gua bisa denger obrolan kalian di sana kalau kalian lupa,” suara Kaz mendominasi ruangan itu. “Terkhusus lu, Ella. Apa maksud lu? Mau kabur gitu aja ninggalin Loren dengan uang-uang itu? Lu mau jadi penghianat?” tanya Kaz dari seberang sana.
“Apa yang lo pikirin, Ella? Semua rencana bakal berantakan kalau kita nggak ikutin perintah Loren.” Oliver berusaha tenangkan Ella.
“Lu kabur, lu pengecut,” sahut Jemish masih dengan emosinya.
“Gue tuh nggak mau kita diam aja kayak gini, Bangsat! Diam kayak gini biar nunggu apa lo semua, hah? Nunggu dibunuh sama polisi sialan itu!?” Ella yang merasa terpojokkan akhirnya buka suara.
“Tenang anjing, jangan bikin kacau,” ucap Jemish.
“Lo semua yang bikin kacau ya, brengsek,” umpat Ella.
Merasa dirinya tersudut Ella pun berontak, ia jadi tersulut emosi dan dengan egoisnya dia mengambil kekuasaan Ian sebagai pemimpin. Ella melumpuhkan Ian, lalu menarik tubuh Ian yang terkapar di lantai dengan paksa, dia ikat di kursi, ia pukuli kepala Ian dengan tongkat komando milik pemimpin dan mengancam akan menembak Ian hidup-hidup. “Gue paling enggak suka disuruh diam dan menunggu begini, sama aja kayak lagi nunggu dibunuh karena kalah dalam pemungutan suara. Dan lo— ...,” tunjuk Ella kepada Ian dengan tangan kiri yang sudah mencengkeram kerah baju Ian kencang. “Jangan karena lo menang dan jadi pemimpin disini, bukan berarti lo bisa ngasih keputusan buat kita,” lanjutnya sembari Ella menodongkan pistol di apitan kuasa kanan.
Suasana menjadi makin kacau, riuh suara tak terkendali. Beruntung mereka berada dalam ruangan yang jauh dari para sandera, di mana sudah pasti para sandera sedang melakukan makan siang. Dan kalau diingat makan siang kali ini kebetulan adalah sayuran segar juga nugget rebus. Namun untuk situasi sekarang mau makan pun sudah tidak nafsu.
Ian yang merasa bahwa Ella sudah hilang akal sehat berusaha menghentikan tindakan. “BANGSAT!!! ELLA LO NGAPAIN SIH?”
“GUE TANYA LAGI SAMA LO, MAU KELUAR DENGAN CARA APA HAH?! GAK BISA LO ASAL KELUAR TANPA BIKIN RENCANA, JANGAN BIKIN ONAR,” bentak Oliver sebab kesabarannya sudah dimakan habis.
“Anjing emang Ella,” umpat Jemish.
“Ada apa di sana, kenapa berisik banget? Ella, ngapain?” suara Amon tiba-tiba terdengar dari alat komunikasi yang mereka punya.
“Dia ngikat Ian, sama aja itu tindak kekerasan,” sahut Jemish melirik Ella tajam.
“Lu gilakah Ella? Ella, denger gue 'kan? Jangan bertindak bodoh, walaupun Loren enggak ada di sini, gue masih sama Kaz dan Nadhin, lu tahu pasti mereka akan gimana ketika tahu lu punya rencana buat mengkhianati Loren.” kata Amon.
“Emang dasar bodoh! Lepasin gua, Ella! Apa maksud lo ngikat gue!” Ian memberontak, merasa diperlakukan tak adil oleh Ella.
“Bacot. Mending lo diam atau gue pukul wajah lo,” ancam Ella. Jemish di tempatnya tak bisa hanya tinggal diam, ia pun terbawa api emosi lalu berusaha untuk menenangkan Ella. Tapi Ella yang memiliki sifat keras kepala sudah pasti tak mendengarkan ucapan Jemish. “LU YANG DIAM! Lu kayak gini emang bisa bikin masalah selesai? Enggak, tolol!”
Ella berteriak frustasi. “YA MAKANYA GUE INI KASIH SARAN BAIKNYA KABUR LEBIH DULU BANGSAT, DARIPADA KITA HARUS NUNGGU KABAR DARI LOREN!!!” Ella benar-benar hilang kesabaran, ia sudah naik pitam, berteriak emosi di hadapan Jemish, di depan semua anggota Suargaloka yang ada di sana.
“LOREN BAKAL BALIK ANJING!” seru Jemish tak kalah emosi, “Lu berusaha buat nunjukin apa sih?! Otoritas? Itu sama aja lu kayak pembuat onar!!!”
“Gue yakin Loren bakal balik, tunggu bentar. Kita punya rencana dan peraturannya Loren, dia yang memimpin dan lo enggak berhak mengatur tim tanpa arahan dia,” sahut Oliver.
“Ya terus di mana Loren emangnya? Bahkan dia nggak pernah ada disini kan?” tanya Ella, kini intonasi suaranya sedikit menurun.
“Ya dia beroperasi di tim sebelah astaga,” sahut Jemish merasa capek.
Oliver maju ke arah Ella, menepuk pundak temannya itu memberi meyakinkan. “Dengerin gue, Loren pasti punya rencana tersendiri buat ini. Dia juga ada kerjaan di sebelah dan percayai Ian buat jadi pemimpin di kelompok ini, gue harap lo ngerti,” ujar Oliver.
“Cih, orang gila ini yang dipercaya sama Loren buat jadi pemimpin?” Ella melirik Ian dengan tatapan remeh.
“FUCK YOU, BITCH!!!” teriak Ian.
Ella tersenyum mengejek, “Angkat tangan lo kalau punya tongkat komando ini, gue punya tongkat ini sekarang, gue pemimpinnya.”
“Lu pikir dengan cara begini masalah bakal cepat selesai? Yang ada lu memperkeruh suasana. Ngerti nggak?” Ian benar-benar sudah kepalang emosi.
“Oke, tenang. Gua jelasin sesuatu tentang peraturan. Bedebah yang berani menghina anggota tim, gua pecahin kepalanya. Dan lu, lu mau diem nggak Ella? Setidaknya gunain itu mulut lu untuk berterimakasih karena gua membela lu habis ini,” ujar Jemish.
“Gue enggak butuh sampah kayak lo buat ngebela gue, Jemi.”
“Cukup, gue muak dengar semua kelakuan lo. Lo bilang tadi Jemish apa, sampah? Lo nggak sadar kalau lo lebih sampah karena mukulin teman komplotan lu sendiri? Gue bisa aja ke sana dan nembak kepala lo pakai senjata gue, setelahnya lo mati dan gue ambil komando.” Kini Amon yang ambil suara. “Jangan berbuat lebih kalau lu masih sayang sama nyawa lu!” teriak Amon dari sana.
Oliver memegangi tangan Ella, “El, gue mohon kali ini aja nggak memperkeruh keadaan. Kita udah janji buat keluar sama-sama. Jadi terima hasil voting tadi dan kekalahan pendapat lo.”
Oliver menatap semua pasang mata yang pandangi dia. “Balik kerja kalian semua! Biar urusan ini cepat selesai!” Permasalahan dianggap selesai begitu saja, semua anggota satu-persatu pergi keluar ruangan. Tak lupa Ian yang sudah tak lagi diikat namun masih sedikit emosi karena tubuh menjadi sakit.
—
Para aparat kepolisian berkumpul ramai-ramai di markas, Inspektur Sierra meminta tiap-tiap orang untuk mengajukan besar-besaran uang imbalan bagi siapapun masyarakat yang mau melaporkan polisi bahwa mereka menangkap atau setidaknya tahu di mana keberadaan dari Loren beserta Roger. Dan pasukan militer tak sengaja memang mendapati bahwa Loren juga Roger pergi dari bank selagi semua orang sibuk pulang dan pergi, ditambah yang tidak beranjak coba mengisi perut kosong.
Namun dari sekarang, belum ada yang tahu bagaimana rupa asli para perampok. Bahkan Loren dan juga Roger. Tetapi ciri-ciri yang polisi dapatkan saat beberapa anggota tim diberikan giliran berbicara pada khalayak umum melalui layar besar tengah kota, polisi yakin apabila salah satunya ada yang termasuk Loren. Maka dengan uang bayaran sebesar 10 juta USD, ciri-ciri hasil akhir pun langsung disebarkan, hanya menunggu laporan seseorang barangkali ada menemukan mereka.
—
Di tengah kerusuhan akibat tindakan yang Ella lakukan, hari ini semua anggota menjadi agak linglung akan bagaimana mereka operasikan rencana ditambah dengan Loren tidak bisa dihubungi menurut Kaz di mana baru saja ia mengabarkan kepada rekan lain. Bukan tidak bisa dihubungi—dia menghilang. Dan, mereka anggota komplotan juga mungkin akan segera hilang. Para sandera pun sudah lama bergelut dengan ketakutan, dan ini adalah saat mereka memilih sikap: melarikan diri dan cari tempat bersembunyi, atau tinggal dan melawan.
Anggota perampok juga harus memilih, hanya saja pilihannya tidak tersedia. Mereka akan mati, dan sandera juga mungkin bisa begitu. Namun Jemish menghabiskan banyak waktu untuk memikirkan cara agar merasa baik-baik saja dengan kemungkinan keluar hidup-hidup dari gedung percetakan. Walau kenyataannya, mereka tidak pernah baik, dan mereka belum juga mati. Sudah berapa peringatan didengar, banyak kematian dikabarkan pada televisi yang mereka tonton. Setiap hari, sandera hanya bisa berdiam diri, berpegangan tangan, kemudian mengharapkan sesuatu, entah kematian atau kelanjutan kehidupan.
Sedangkan Jemish, ia sudah lelah berharap 'tuk keluar lalu melanjutkan hidup sebaik-baiknya daripada manusia lain. Takut sudah datang menghantui seisi perutnya, membalikkan arus pencernaan, makanan keluar dari atas, lalu sekarang; lubang pantat sepertinya sudah kekurangan lowongan. Ditambah musibah datang sesaat di mana ia tak pernah harapkan kedatangannya. Jemish hampir tertawa miris. Tapi ia tetap menunggu Ian buru-buru berganti baju, dan mengobati beberapa luka goresan.
Suasana begitu hening dengan hebat, sampai Ian mengeluarkan suara, “Jem,” panggilnya.
Jemish yang terpanggil mengalami gangguan keseimbangan, hampir saja oleng. Lucu, sudah lama sejak masa-masa terakhir di mana dua ini pemuda berlatih menembak sama-sama. “Oit?”
Ian selalu jujur kepada Jemish saat mereka dapat menghabiskan waktu bersama. Tapi bulan-bulan terakhir sama sekali tidak terasa seperti keajaiban. Cemas, ya. Takut, ya. Namun bukan karena penyerangan kali ini, masa depan hubungan mereka seperti berada di ujung pintu patah. Gembira merasakannya ini? Sama sekali tidak. Orang bilang semasa menjalankan relasi romantis pada waktu perampokan benar-benar menyenangkan, perasaan menegangkan pun memacu adrenalin dengan begitu baik. Lamun Ian rasakan menderita dan jauh berlipat-lipat.
Ian berbalik menghadap Jemish. Benar, Ian selalu jujur kepadanya daripada menganggu pikiran sendiri. Jemish ingin percaya bahwa itu benar. Tapi terkadang seseorang tidak selalu ingin mendengar kebenaran. “Gue nggak bisa terus sama lo lagi, Jem. Gue banyak pikirin hal ini. Gue sadar, selama ini gue selalu ngikutin lo macam anjing. Sebetulnya gue sadar, gue kuat, tapi gue takut, terlalu takut nerima kalau gue bakalan hidup tanpa lo. Gue ngerasain gilanya. Itu perasaan yang nggak banget. Gue nggak mau kayak begitu lagi.”
Jemish ingin muntah rasanya. Ia terdiam tanpa kata-kata selagi mencerna ucapan Ian. Namun kepala sudah menggeleng tanda tidak terima.
Ian maju beberapa langkah, menggapai roman milik Jemish, mencium bibirnya lembut. “Jem, gue yakin lo butuh ini. Lo nggak lagi-lagi sering terlibat masalah gara-gara gue. Lo juga nggak akan repot-repot lagi ngurusin gue yang selalu bikin masalah ini. Gue nggak bisa ngelindungin lo dengan baik, Jem, sebaliknya malah nyiptain masalah. Gue juga nggak perlu lagi ngerasa capek karena susah ngatur lo. Sama-sama untung. Maafin gue. Asli, tapi gue nggak mau hidup di rollercoaster terus.” Pengakuan Ian yang panjang lagi-lagi terdengar jelas di kuping Jemish, selayaknya kidung pembawa petaka, ia ingin menulikan diri jikalau sanggup. “Tolong Jangan tinggalin gua.” Jemish memeluk Ian erat seolah benar-benar tak ingin dia pergi.
Kebahagiaan itu sejatinya macam petir. Satu hembusan napas, seseorang bisa jatuh. Saat menyentuh langit, kejatuhan itu kolosal. Dan semua terjun ke lubang yang dalam, bahkan Laurie yang mencipta peraturan mereka, untuk tak jatuh cinta pada sesama anggota. Bahkan jua Jemish, t'lah merasakan jatuh lebih dalam.
Ian melanjutkan bicaranya selagi Jemish coba menahan sesenggukan keluar, meskipun air mata sudah banjir menguasai pipi. “Lo bakalan ketemu yang lebih baik ketimbang gue. Lo kaya setelah keluar dari sini, ya? Hidup bebas habis itu bareng orang yang lebih pinter dari gue, dan lebih manja dari gue biar bisa nemenin lo yang kaku ini.” Jemish hanya menanggapi dengan gelengan. Ia sungguh tak mau. “Kenapa harus pergi sih? Kenapa ninggalin gua?”
Ian pun ikut menggeleng beri jawabannya. “Lo pantes dapetin yang lebih dari gue, Jemish.”
Pelukan keduanya mengerat. Tak ada berani melepaskan seolah sehabis itu mereka akan betul-betul lenyap ditelan angin, kemudian hubungan mereka tenggelam di lautan, karam bersama karang, menutupi keindahan masa depan dan kemungkinan lain.
Kejatuhan itu dimulai. Menjadi bagaikan tanker minyak, yang sampai di ujung dunia lalu jatuh ke lubang dalam. Saat keduanya jatuh, mereka hanya bisa melihat ke atas, lalu pandangi yang paling kalian cintai merasa semakin kecil.
—
Benda alam seolah berbicara kepada angin mengenai rahasia yang tak para mayat ketahui. Menyebarkan isu-isu buruk demi pertahankan sosial dan kemanusiaan yang kini sudah tiada harga diri lagi. Hilang sudah dirampas suapan.
Dan di sinilah mereka berdua, Loren dan Roger berada dalam satu mobil tadinya. Keheningan terlalu menguasai semenjak pergi menjauh dari bank. Tujuan bahkan belum pasti namun Loren berencana kunjungi tempat tinggal keluarganya yang masih hidup pada rumah sewaan.
Tak ingin merasakan diam terlalu lama, meski Loren sedari tadi memang sunyi tanpa keluar suara, Roger mencoba kembali mengangkat topik pembicaraan. “Are you okay, pretty?”
Laurie gelagapan. Ia menghela napas pelan sampai akhirnya berani menoleh pada Roger yang fokus mengunyah satu makanan. “Yes, of course. I'm— I'm happy when you're here. I'm happy when you're around. Because you make me brave. And I just feel safe with you, like nothing bad can happen.” Roger tersenyum beserta beri anggukan kecil. “I swear to you, honey. As long as I'm by your side, you'll never be harmed,” ujarnya kemudian dibalas Loren senyum tipis.
Loren belum lagi menurunkan garis kurva di bibir saat memberi balasan, “It's cute that you tried to protect me and all, but you're like a foot shorter than me, you know?” suara ejekan terdengar meriah. Roger tetiba meninju bahunya pelan, lalu melotot tak terima. Tawa Loren telontar renyah. Namun beberapa menit kemudian ia berubah sendu. Roger bingung seketika. Loren yang ditatap, datang dekati.
Roger angkat kedua alis, Loren menahan kalimatnya agar dapat mempersempit jarak mereka. Kedua tangan Loren otomatis berpindah posisi pada bahu Roger. “Maaf karena dari pertengkaran kita pagi tadi, yang membalas ucapanmu adalah orang yang nggak tahu cara menikmati kehidupan. Tapi karena aku itu Laurie, aku ingin menghabiskan sisa hidupku denganmu, Reiner. Aku minta maaf.” Roger terdiam mendengar itu. Ia kemudian mengusap kepala Loren secara pelan. “I knew you'd feel guilty, you do understand that I'd take a thousand wounds if it meant keeping you safe, okay?” dan Loren mengangguk setuju.
Mereka berada pada situasi hening yang intim sampai suara drone terbang mengalihkan dua atensi pemuda itu. Jelas nampak drone tepat di atas kepala. Ekspresi Roger beserta Loren jelas terkejut. Sudah pasti drone tersebut berasal dari para aparat kepolisian yang mungkin sedari tadi menangkap sinyal mereka. Tapi Loren betulan bingung, bagaimana bisa?
Paham jikalau tidak ada waktu lagi mencari tempat persembunyian. Mereka secepat kilat masuk ke dalam mobil lalu mengemudikannya lagi. Roger merasa sedikit muak. Kesal sekali kedatangan drone t'lah merusak waktu sarapan dia. Namun selagi mengendalikan mobil lebih masuk ke hutan. Roger bersiap-siap ambil tas darurat yang sudah mereka siapkan. Kemudian ambil ancang-ancang terjun keluar dari mobil.
Sesaat setelah Roger keluar. Giliran Loren yang juga ikut meluncur pergi dari mobil. Rencana melarikan diri ini sudah pernah diusulkan oleh Roger selagi mereka lakukan sesi penegangan. Lebih tepat lagi, persenggamaan menyangkut mulut atau seks oral. Boleh dicoba praktekkan demi membungkam mulut lancang seseorang.
Loren menatap kesal orang di hadapannya. “Kapan kamu akan selesai?” Loren benar-benar ingin buat Roger diam barang sebentar karena semua rangkaian rencana buatan dia tak masuk di kepala Loren, alhasil perlu dijelaskan ulang sampai yang lebih muda mengerti.
Roger menatap Loren bingung di bawah sana. “Kamu juga kapan mau selesainya?” Mungkin maksud Roger, menyelesaikan tugas Loren sebagai penghisap penis itu, harusnya Roger pun tegang dalam menjelaskan konsep melarikan diri mereka dan bukan cekikikan. Barangkali pikiran dia terdistraksi oleh kecantikan serta ketelatenan Loren.
Sedari tadi dirinya tak berhenti menjelaskan segala ide-ide yang datang dari kepala ihwal bagaimana mereka melarikan diri saat ada penangkapan tiba-tiba. Sebetulnya itu adalah tugas Roger mencari solusi, tapi maksud Loren jangan setor ketika mereka hanya berdua untuk habiskan waktu bersama demi membungkam mulut lancang yang selalu meledek Roger tanpa sepengatahuan rekan-rekan kerja lain.
Roger memandang wajah Loren saksama selagi yang ditatap berusaha menyamankan posisi. “If you're not going to do anything with that pretty lips of yours, then I'll put back my pants.” Memang harus dilepas sempurna mungkin ingin dia. Tapi Loren di bawah sana tertawa ringan, “Why don't you use this mouth for a good-use then?” ujarnya lembut sembari menunjuk berkali-kali kelopak bibir bawah.
Roger memutar bola mata. “A pet shouldn't talk, my love.” Loren mengabaikan. “Then shut this puppy up, will you?” yang diberi tanya mengangguk, “I will.” Dan Loren melanjutkan kegiatan sesuai permintaan yang lebih muda.
Roger berusaha menikmati alur, tatapi yang cantik mulai menaik-turunkan kuluman. “Kita perlu berpencar kalau lokasi ketahuan. Lalu bawa tas darurat: isinya uang, jaring kamuflase, selimut terpal, senjata, dan air minum.”
Mereka berdua hanya punya waktu 4 menit. Itu menurut perhitungan Roger. Selama jalannya empat menit mereka harus berada di puncak pohon. Dengan ketinggian minimal 7-8 meter dari atas tanah. Kemudian bersembunyi seperti penembak runduk, menutupi diri memakai daun dan penyamaran pun sempurna. Tetapi semua hanya teori karangan Roger tanpa melatih hasil akhir. Ia tidak bisa memanjat pohon. Sedang si Loren susah berhasil naik beserta tutupi tubuh dengan dedaunan. Karena panik, alhasil Roger harus improvisasi sendiri persembunyiannya ke sebuah kandang ayam. Semoga saja dia aman, untuk sementara. Sebab tidak ada pilihan lain. Mobil yang ketahuan dikendarai mereka, tidak lama lagi akan dicek isinya.
—
Sesuai dengan rencana sebelumnya mengenai liburan singkat yang dimaksud Loren. Akhirnya Nadhin selesai dibedah oleh para rekan kerja Suargaloka dengan alat medis seadanya. Juga ilmu pembedahan yang membantu tipis-tipis. Semua alat penyadap berhasil dikeluarkan dari tubuh dan total ada sekitar 4 mikrofon sudah menyatu bersama tubuh. Namun Amon miliki ide untuk menjalankan rencana Loren tentang penipuan indra pakai teknik suara. Di mana pendengaran dan rasa takut adalah pemicu utama pembangkit paranoia terbesar.
Tim polisi masih terbingung-bingung dengan bagaimana bisa para perampok melelahkan emas cadangan milik negara. Teori katakan mereka tahu bahwa itu semua supaya lebih mudah mengeluarkan dari bank. Demi halangi operasi tersebut, Kolonel Ishwar setuju jalani rencana rancangan Inspektur Sierra.
Dalam situasi genting, posisi Loren dan Roger sangat memerlukan taktik pengalihan sebesar mungkin agar polisi tak fokus mencari mereka lagi. Dan Amon menjalankan rencana itu pada waktu sempurna. Bersama satu kata kunci: melarikan diri adalah umpan terbesar tim. Lalu Amon harus membuat mereka sedikit gila.
Tiba-tiba sensor seismik di markas kepolisian mengindikasikan gerakan. Kemungkinan besar para perampok menggali dengan mesin industri. Dan benar, Eddie sedang melakukan tugas itu. Saat mengetahui bahwa tim penjahat dapat kabur lewat bawah tanah. Kolonel Ishwar menyuruh pasukan militer penggali bersiap.
Rencananya, sudah pasti mikrofon yang ada di tubuh Nadhin akan terus dipantau suaranya oleh salah satu anggota kepolisian. Maka tim berusaha untuk memanfaatkan itu. Para polisi bisa berpikiran bahwa perampok coba kabur. Padahal tidak. “Berhenti, Ed!” suara Dominic terdengar jelas menghentikan kegiatan Eddie. Langsung sensor seismik kehilangan sinyal.
“Itu lubangnya,” suara Dominic terdengar lagi bersamaan dengan Ed mengambil beberapa pasir di lubang galian. Ed menyahut, “Galeri.”
Polisi kebingungan. Eddie mengambil suara lagi, “Cepat panggil Amon.” Yap, pelarian diri adalah ketegangan. Itu berupa emosi, dasar dari kegelapan. Itu gema lubang, kelembapan bawah permukaan tanah. Polisi akan rasakan.
Dominic beri anggukan kepala. Ia pun menuang seember air, sehingga lantai banjir sedikit. Dan bersama Eddie, keduanya berjalan kaki di atas air menciptakan bunyi cipratan keras. Tak lupa, Dominic memegang satu kotak wadah bening berisi 4 mikrofon yang sudah dikeluarkan dari tubuh Nadhin tadi. Aksi mereka ciptain gema, bahkan Amon baru sampai, bergabung dalam penipuan tersebut. “Di mana Nadhin?” tanya Dominic pada Amon, masih berlari-lari kecil.
“Belum selesai melelehkan,” jawabnya Amon.
“Suruh turun. Itu sudah cukup,” sahut Dominic.
“Benar, pergi sekarang!” Eddie ikut membalas.
Kolonel Ishwar yang ada di markas terheran, bagaimana emas 90 ton emas bisa dilelehkan mereka dalam waktu hanya dua hari. Harusnya butuh 150 atau 200 oven. Dari situ, telinga akan mulai menghasilkan banyak pertanyaan, banyak spekulasi, banyak teori, yang butuh konfirmasi dari indra lain. Yaitu, penglihatan. Dan sudah menjadi tugas musang milik Eddie, bernama Lamia, menyerang indra pendengaran mereka, tak lupa masukkan cip geolokasi. Lalu Amon menarik starter pada mesin. Kolonel Ishwar panik bukan main tahu bahwa tim perampok akan segera pergi.
“Aku di sini,” sahutan Nadhin datang sembari membawa dua gelas cappucino. Ia berikan satu pada Dominic. Kemudian Amon putarkan baling-baling yang dianggap macam gerobak.
Akhirnya melepas kegilaan. Lamia si musang akan dimasukkan ke pipa air. Secara cepat, polisi mengonfirmasi satelit itu sebab terlihat sensor dari titik gerakan. Kecepatan bahkan mencapai 18 kilometer perjam. 30 menit saja bisa sudah tiba di permukaan tanah, katanya. Semasa Lamia keluar menggunakan GPS, tim perampokan menghancurkan sinyal mikrofon agar polisi hanya mengikuti tempat satelit itu.
Mengetahui bahwa mereka kehilangan sinyal, Kolonel Ishwar segera memanggil unit bawah tanah. Datangi selokan yang akan dilewati oleh Lamia si musang. Secepat mungkin pasukan darurat itu mendatangi ujung selokan paling dalam. Jaraknya semakin dekat sampai buat Kolonel Ishwar tidak sabaran. Hingga ketika salah satu pemimpin unit darurat menemukan lorong pipa airnya, betapa mengecewakan oleh apa yang mereka dapatkan di sana.
“Kolonel.” pemimpin pasukan unit bawah tanah memanggil. Sedang Kolonel Ishwar mewanti-wanti. Ia jawablah, “Itu musang, berpakaian seperti rompi milik para perampok.” Inspektur Sierra tertawa geli. Kolonel Ishwar mengumpat penuh kejengkelan kepada perbuatan mereka.
—
Waktu sore sudah hampir menjelang malam.
Roger masih terpojok. Ia tak bisa berpindah tempat persembunyian sampai pemilik asli peternakan memergoki kehadirannya sembari menodongkan senapan. Yang Roger bawa sendiri hanya dua pistol biasa, ia jelas kalah telak. Bahkan mereka bisa membunuhnya.
Roger tahu bilamana pasangan suami-istri ini berniat menangkapnya dan laporkan kepada polisi agar mendapat uang 10 juta dollar itu. Demi kemanusiaan juga keamanan bersama, Roger mencoba ajak mereka bernegosiasi. Menawarkan uang sebanyak 24 juta dollar, diberikan langsung, dan mengatakan jikalau imbalan polisi itu bohong. Hanya iming-iming agar dapat kepercayaan masyarakat semata. Kira-kira jalan lima belas menitan ia hampir selesai namun kedatangan Suarez, petugas polisi keamanan suruhan Kolonel Ishwar sudah datang lebih cepat dari perkiraan awal Roger.
Negosiasi mereka batal seketika. Sedang si istri tadi berlari keluar ketakutan sembari menangis saat mengadu bahwa penjahat itu ada di garasi kandangnya. Meski sekuat apapun Roger meminta pertolongan, bahkan menyuapi dengan uang bayaran besar, dia tetap tak bisa melarikan diri lagi. Dengar dari alat komunikasi mereka, Loren khawatir, tanpa menunggu lama ia keluar dari penyamaran untuk turuni pohon, cari peternakan tempat persembunyian yang dimaksud Roger tadi.
Bising suara-suara pria berumur lima puluh ke atas yang mengancam menembak Roger telah berkeliaran bebas merasuki daun telinga Loren, sedikit memacu kecepatan berlarinya. Sampai terdengar polisi mendobrak pintu kadang, dia suruh warga keluar sedang Roger sudah jatuh berserah ke lantai sembari angkat tangan.
Loren benar-benar tak bisa diam saja. Dia memanggil Roger. “Reiner, tolong ulur waktu. Beritahu dia bahwa kamu sudah menyerah.”
Suarez berteriak kepada Roger. “Mana Loren?”
Dan hal yang begitu tidak terduga adalah para polisi itu sudah mengetahui nama samaran si dalang perampokan.
“I do not know!” Roger balas berteriak frustasi.
Loren terus berlari tanpa henti seolah-olah jarak peternakan dengan persembunyiannya begitu jauh, atau dia sendiri tiba-tiba tersesat. Ia sendiri pusing sampai kaki tak sanggup lari lagi namun ini semua demi menyusul kawan— lelaki yang berhasil buatnya menaruh hati. “Reiner! Tunggu, aku bentar lagi sampai.” Loren berkata patah-patah, masih terus berlari lewati pohon-pohon besar dari sekeliling.
“Di mana Loren?!” Suarez maju satu langkah.
“Gua nggak tahu, anijng!” Roger jawab sekali lagi bersama luapan emosi yang memuncak. Ia harus berbohong sebagai penguluran waktu.
“Yakin? Gua tanya sekali lagi,” balas Suarez lalu memuat ulang peluru.
Loren semakin dilanda kegilaan. “Reiner, keluar dari sana!” namun perkataannya tidak dipatuhi oleh Roger. Dalam penglihatan itu, Roger masih menggeleng kapita. “Gua nggak tahu di mana Loren. Nggak tahu.” Ia hampir saja menangis.
“Jawaban salah,” kata Suarez. Ujung pistol sudah menempel ke dahi Roger dan tinggal gilirannya menarik pelatuk.
Loren masih melontarkan kalimat, “Aku hampir sampai. Serius. Reiner, keluar dari sana!”
DORR!!
Satu tembakan mengejutkan Loren. Kakinya berhenti. Jantungnya berdegup kencang dan syok langsung menghantam ke ulu hati. Kini lari sudah bukan lagi prioritasnya. Terasa mati rasa, tak sanggup melanjutkan langkah.
DORR! DORR!
Dua tembakan. Tiga tembakan. Berhasil buat Loren terlonjak tiga kali. Mulutnya menganga. Mata emas kecokelatan itu kosong. Ia merosot ke bawah. Kaki yang tadi sudah berusaha keras menyusul Roger, kini menekuk hingga lutut bertemu dengan dedaunan pada dasar tanah.
Vokal Suarez masih terdengar dari radionya, “Itu pembelaan diri. Dia menembak duluan.” Bahkan dua warga yang menangkap Roger tadi terkejut penuh ketahui ia ditembak di kandang. “Ambil pistolnya. Bersihkan sidik jari. Letakkan di tangannya.” Suarez masih memerintah.
Loren berteriak sekeras mungkin. Mencoba lampiaskan perasaan kesal dan kehilangan yang begitu besar. Matanya mulai mengabur saat ia pandangi langit-langit cerah di atas tanpa sinar matahari. Tangisannya keluar dengan cepat. Dia mengumpati siapapun penembak Roger. Tubuh itu seolah-oleh hancur lebur tak memiliki nyawa. Loren jadi linglung. Seketika mengabaikan kekacauan dari sekitar. Gema suara tembakan menghantui pikiran Loren menciptakan dengung tak berkesudah bersama persepsi buruk bahwa Roger sudah mati. Berefek kehilangan satu orang penting.
—
BERSAMBUNG.
percakapan roger loren tuh romantis ya. nunjukin yg beneran meski kita perang, klo ada satu sm lain pasti bakal ngerasa aman. kerennn bgt dah
BalasHapus