INTRODUKSI: SEMBILAN DALAM DONGENG.

SELAMAT DATANG PADA dunia pilah-pilah! Di sini, realita manis dengan sengaja dihidangkan dalam persidangan 'tuk berkilah dari cema bersalah.

O’ TUAN DAN NYONYA SEKALIAN ... t'lah dipersembahkan kepada kalian semua; manusia paling serakah yang pernah menapakkan kaki pada semesta.

PAGELARAN DIALEKTIKA DARI PARA MURBA NAN HARTAWAN  ───────

Dosa adalah jibilah pembawa harta dan seluruh manusia adalah jelata. Tidak lebih dari debu dan tanah nan akan terinjak ego hingga rata. Dan semua manusia hidup di atas neraca ego. Kalau kalian yang mana? Terpelajar, kurang ajar, atau pembuat onar?




NAMAKU Pranona Soergadhin. Nona adalah panggilan yang biasa orang-orang layangkan padaku. Tetapi saat cerita ini dimulai, namaku bukan itu. Setidaknya bagi para rekan yang ada dalam cerita ini. Kami tengah sibuk bersembunyi.

Hari-hariku begitu sepi sebab tinggal sendiri sedari dini. Aku memanglah bukan lelaki, itu penyebabnya mereka membuangku tanpa apapun menemani. Tak ada yang menarik di kehidupanku, selain dari mencari-cari segepok uang demi bertahan hidup di dunia. Dan saat aku sedang memanjakan diri di klub malam, sebuah kesenangan baru saja aku dapatkan.

Aku membuka kedua mata di antata seluruh keramaian, dengan penuh cekatan aku genggam kuat-kuat pisau lipat di balik sapu tanganku. Menjelajahi ke sekeliling, baru mengingat bahwa diriku sedang berada dalam toilet di sebuah klub malam.

Merasa bahwa aku tengah diawasi oleh seseorang, aku cepat-cepat menebalkan pewarna bibir dan segera keluar dari sana setelah menyelesaikan beberapa hiasan sudut rupa. Kemudian berniat kembali ke lantai dansa sebelum tetiba seorang lelaki menabrak bahuku secara kasar. 

Ia nampak tersenyum menyeringai padaku, “Lihat ini, ternyata Nona sudah keluar dari tawanannya,” ucap lelaki itu sembari tertawa lepas. 

Aku cengkram dagunya yang nampak angkuh, “Jangan kau coba-coba mencari ulah padaku atau kau akan terkena dampaknya.” Kalimat ancaman tersebut terdengar remeh bagi lelaki di hadapanku. Namun seketika ia meluruskan tangan untuk mencekik leherku. Manusia memang tak ada habisnya membunuh jika saja memiliki dendam yang belum terbalaskan.

Sebab aku tidak mau mati mengenaskan dengan kehabisan napas, maka kutendang perutnya hingga ia menabrak dinding. Lalu kukeluarkan pisau lipat di mana sedari tadi aku sembunyikan pada balik sapu tangan. Dan tanpa pikir panjang, aku tusuk leher jua perut itu berkali-kali. Sekarang ia berakhir sama dengan anak pejabat tinggi yang pernah aku habisi.

Menyadari bila lorong toilet suasananya sepi, aku dengan cepat berlari keluar melalui pintu belakang untuk keluar dari klub malam dan berniat segera pergi menuju mobil sebelum seseorang melihatku yang baru saja membunuh satu manusia.

Di kala aku sibuk bersama pikiranku yang terus berkelana memikirkan betapa bodohnya aku karena meninggalkan ia begitu saja tanpa menyembunyikan hasil perbuatanku. Ada lelaki tinggi semampai entah datang darimana sedang berdiri menghalangi jalanku.

Perasaan gegabah dan panik tiada kira menguasai, aku kembali mengacungkan pisau lipat yang penuh dengan bercak darah ke depan dagunya. “Minggir kau, idiot!”

Aku tak tahu apakah telinganya tuli atau tidak. Namun aku tetap beranikan diri melangkah maju sehingga nampaklah ia menyeringai di dalam kegelapan malam setelah pancaran cahaya kecil menyinari permukaan wajah sudut bawah. “Pranona Soergadhin, ya? Aku Laurie.”

“Aku tidak ada waktu untuk berkenalan denganmu jadi silahkan tanya keperluanmu lalu cepat menyingkir dari hadapanku, bangsat!” kataku penuh terburu-buru, sedikit takut karena mewanti-wanti kedatangan polisi.

Lelaki yang bernama Laurie itu, melipat kedua tangan di balik punggung. Lalu ikut maju selangkah mendekat untuk menghampiriku. Ia menurunkan sedikit tinggi badan agar sejajar tinggi kami. “Aku ingin menawarimu sebuah bisnis, bukan hanya sekedar bisnis biasa.”

Aku mengangkat satu alis. Faktor masih kurang yakin dan membenci hal-hal penipuan adalah penyebab utama bahwa lelaki di hadapanku sungguh menyebalkan luar biasa. “Lalu?”

Laurie melirik pada pisau lipat yang aku acungkan sedari tadi. Ia menurunkan tanganku perlahan-lahan dan berkata dengan volume suara pelan. “Aku tahu kau membutuhkan uang dan tempat persembunyian, Nona. Apa kau yakin tidak tergiur dengan perampokan besar yang bisa memberimu uang lebih dari miliaran rupiah? Ingin bergabung pada rencana ini?”

Aku tidak ingat bagaimana bisa kala itu aku menyetujui tawarannya tanpa rasa curiga sedikit pun. Tetapi begitulah bagaimana aku bertemu Loren, si pembawa keberuntunganku. Mungkin rekan lain juga memiliki pengalaman tawaran kerja yang hampir sama dengan milikku. Adalah alasan cerita dimulai, kami semua memang senasib.




Rekan-rekan dan aku sendiri duduk di sebuah bangku. Semacam kelas perkuliahan, tetapi materi yang kami pelajari adalah rencana perampokan. Terlihat rumit dan berbelit-belit tetapi akan sangat seru untuk memahaminya perlahan. Aku lihat jika Loren berjalan ke dekat papan tulis sembari mengambil kapur, lalu kembali ke posisi semula ia berdiri di depan kami. Memberikan gestur tubuh menyambut secara hangat kedatangan semuanya.

“Selamat datang.” Netra Loren dilemparkan ke segala sudut arah. Dan di saat itulah aku melihatnya tersenyum dengan tipis sekali. Sangat tipis bahkan hampir tak terlihat apakah itu seringaian atau senyuman manis. “Terima kasih telah menerima tawaran kerja ini.”

Terdengar tawa kecil dari beberapa di antara kami. Menurutku sedikit perkembangan bagus, setidaknya aku berpikiran bahwa perkumpulan kami tidak terlalu suram dan kelam hawanya.

Loren nampak melanjutkan perkataannya. “Kita akan hidup di sini, jauh dari kebisingan dunia. Selama lima bulan kita bisa belajar bagaimana caranya melakukan tugas ini.”

Laki-laki yang duduk di bangku paling depan pada samping kiriku menyela, terdengar semacam protesan. “Apa maksudmu lima bulan? Apa kau pikir, kami sudah gila?”

Kali ini Loren memberi gestur tubuh seolah kami semua harus mengerti apa maksud lima bulan itu. Ia menyenderkan tubuh untuk duduk pada meja belakangnya. “Dengar, beberapa orang harus menghabiskan waktunya bertahun-tahun untuk belajar tentang gaji yang paling tinggi, karena jika hanya sekedar gaji, itu tidak akan seberapa besar. Jadi apalah arti lima bulan itu?”

Loren menatap penuh ke arah lelaki tersebut, berkali-kali melemparkan pandang ke seluruh ruangan juga. “Aku memikirkan ini, untuk jangka waktu yang lebih panjang. Kalian tidak perlu harus bekerja lagi. Baik kalian, maupun anak-anak kalian nanti.” Ketika aku menatap mata Loren, ia berkaca-kaca. Mungkin ada makna lain.

Selepasnya Loren terdiam selama beberapa waktu, ia memandang kami semua penuh harap seolah semuanya adalah orang yang perlu lindungan setiap saat. Kemudian Loren pun berdiri, menuliskan sesuatu di papan tentang peraturan yang harus dipatuhi.

“Baik. Kalian belum saling mengenal dan aku ingin begitu seterusnya. Tidak boleh memanggil nama asli satu sama lain, atau menanyakan hal-hal pribadi, dan tentu saja status pribadi.” Lagi-lagi kami dibuat tertawa kecil olehnya. Dan aku yakin seratus persen, banyak di antara kami akan melanggar beberapa peraturan yang telah diberlakukan.

“Aku ingin masing-masing dari kalian memilih nama, yang sederhana saja,” perintah Loren pada kami semua yang sibuk mendengarkan. “Nama apa yang ingin kalian terapkan?”

“Nama kota? Atau nama planet?” Aku berikan saran yang begitu aneh jika digunakan.

“Jangan gunakan planet. Itu terdengar konyol.” Lelaki di bangku dua samping kiriku membalas.

“Seperti saudara saja.” Salah satu menyahuti.

“Siapa juga manusia yang ingin dipanggil Merkurius, Uranus, dan Neptunus,” jawab lelaki yang duduk di paling depan tadi. Oh, ayolah, hanya masalah nama jangan pula bergaduh.

“Masih menjadi misteri mengapa ada manusia yang tetap menamai anak mereka Venus atau Pluto.” Wanita pada bangku paling belakang ikut menimpali. Ini bisa jadi bahan diskusi paling aneh dalam sejarah dunia.

“Mungkin manusia yang bernama Pluto ingin juga mengasingkan diri dari kehidupan,” balas lagi lelaki di hadapannya.

“Hei. Kita hanya memerlukan nama samaran.” Adalah keputusan final yang diinginkan Loren.

Oke. Jadi begitulah akhirnya aku menjadi Nadhin. Nama samaran yang kupilih, benar-benar tak jauh dari panggilan nama asliku. 

Pemuda yang duduk di belakangku dan sedang melihat punggungku adalah Ian. Perhiasan, rumah pelelangan, dan mobil pengangkut uang itu hal-hal yang bersangkutan dengan dirinya. Dia seperti hiu di kolam renang, kita mungkin bisa renang bersamanya tapi tak'kan pernah tenang. Dia juga bosnya yang memimpin penyerangan di Golongan A. Yang kutahu bahwa Ian memiliki kekayaan berlimpah, aku sendiri tidak tahu mengapa ia bisa kemari.

Suara kicauan burung merpati di pagi hari telah membangunkan Hillson dari tidur lelapnya. Ia duduk di sisi tempat tidur, mata masih terkatup rapat ingin melanjutkan mimpi indah. Setelah itu ia memaksakan kaki berjalan untuk membuka jendela apartemen, bersamaan dengan hembusan angin datang menyentuh kulit. Dari dalam ia melihat burung-burung merpati bertengger di pagar balkon apartemen. Ia menghampiri burung merpati tersebut dan memberinya remahan biskuit sisa semalam. Ia sangat senang melihat burung-burung merpati yang sedang makan. Namun, beberapa saat kemudian ia merasa terusik dengan bunyi alarm muncul dari dalam perutnya. “Ya Tuhan, aku lapar sekali,” keluh Hillson sambil pegangi perut. Dirasa perut sangat lapar sekarang, ia berdiri dan memutuskan pergi cari makanan. 

Hillson berjalan santai, mata menyapu luas ke sekeliling jalan. Sepertinya tidak ada orang lain yang memperhatikan. Ia memasuki kafe, dan duduk di sisi pojok. Ia pikir, kalau dia menjauh mungkin orang tak akan mengenali wajahnya yang pernah muncul di layar kaca sebagai seorang narapidana. Sembari menunggu pesanan, ia memandang ke luar jendela memperhatikan orang berlalu-lalang, ada seorang pengamen yang berusaha mencopet sesuatu dari tas seorang wanita, dan tentu saja ia menutup mata. 

Hillson kembali mengingat-ingat masa lalu, saat dirinya masih diselimuti oleh kehidupan yang mewah bersama keluarganya. Menghabiskan waktu luang untuk mengembangkan hobi olahraga, menembak dan mengikuti aksi balap mobil. 

Hobinya mungkin menyenangkan namun seperti kecanduan, ia hilang kendali. Menikmati tegukkan alkohol penggugah hati, sampai mau mati lalu keluar dan melaju dengan kecepatan tinggi. Hillson seperti tak punya penopang hidup, raganya ikut lari bersama lampu-lampu jalan yang ia lalui. Tak lupa perihal butiran putih penuh dosa, dihisap hingga sesat akal dan lupa kalau ia masih hidup di dunia. Dirinya tak takut apapun, ia adalah si ahli senapan tak terhempaskan. Bahkan ia bisa buat otak lawan keluar dengan sekali sentakan. Apalagi yang perlu ia takuti? Hidup sendiri menjadikannya mandiri.

Mengingat itu semua membuat Hillson tambah lapar, ia membuka bungkus roti lapis yang ada di tangan serentak bergerak dengan seseorang mendekat menuju meja tempat ia sarapan pada kafe pagi itu. Mengerutkan dahi tanda curiga membuatnya jadi was-was namun Hillson berusaha untuk tetap tenang.

Siluet pria bertubuh tinggi dengan rambut sebahu berwarna merah muda nyentrik menghampiri Hillson yang terdiam di tempat, senyum simpul diperlihatkan pertama kali oleh pria itu. Duduk di depan Hillson lalu berbicara lugas tanpa basa-basi, tatto di seluruh penjuru tangannya terlihat jelas ketika menjelaskan sebuah penawaran. Benar, penawaran yang membuat Hillson berpikir panjang. 

“Kau sangat handal menggunakan senjata api.”

“Kau siapa?” tanya Hillson masih kebingungan.

“Kau melakukan itu untuk melindungi diri kau sendiri, bukan?” tanya tanpa basa-basi sekali.

“Aku ingin membunuh orang,” jawab Hillson langsung. Ia jadi lupa jika sedang sarapan.

“Lalu, apakah kau masih ingin melakukan tindak kriminal Hillson? Aku memiliki tawaran menarik untukmu.” Itu adalah promosi yang tidak diduga-duga.

“Apa maksudmu? Aku tidak mengerti apa yang kau katakan.” Hillson berusaha tenang. Hitung sampai sepuluh, kendalikan amarahmu.

“Dengar, rencana besar sudah menunggumu, dan aku ingin kau bergabung denganku.”

“Yak! Apakah kau seorang sales marketing atau dari agensi hiburan? Bisakah kau pergi dari sini? Aku benar-benar tidak tertarik.”

“Hei? Aku belum selesai berbicara. Dengarkan sebentar saja. Aku rasa kau perlu manfaatkan bakat yang kau miliki, Hillson. Daripada hidupmu luntang-lantung dan membosankan seperti sekarang. Bisnisku dapat berikan untung bagi dirimu. Apakah kau yakin tidak tertarik? Kekayaan emas ataupun triliun uang yang bisa kita ambil? Coba pikirkan hal itu.”

Hillson memang tidak pernah tertarik pada banyaknya kekayaan karena ia sendiri sudah memiliki lebih dari cukup. Tetapi melihat usaha pria tinggi di hadapannya yang kekeuh bawa ia join ke dalam komplotannya, serta Hillson tidak ingin habiskan hidup sia-sia tanpa adanya tantangan. Oh ayolah, mungkin mencoba setuju tidak akan buatnya menyesal besar.

“Baik, aku akan ikut.” Mereka berjabat tangan.

Ian memang terlihat tenang selama berkenalan denganku, tapi entah bagaimana kepribadian aslinya aku sungguh tak mengerti. Ia memiliki sisi misterius di balik sisi kesadisannya. Namun harapanku adalah kami bisa bekerja sama dengan baik.

Arah pandangku berpindah pada pemuda yang duduk di paling depan dekat samping kiriku. Itu adalah Amon. Namanya berarti setan. Ada sisi iblis mungkin. Keahliannya mengemudi mobil dengan sangat handal. Ia juga jagonya merakit senjata. Dan bagaimana bisa pembalap liar itu bertemu Loren, aku yakin bahwa pertemuan mereka tak akan pernah bisa direncanakan.

Gelap dan sunyi, terperangkap dalam sel penjara dengan tingkat keamanan tinggi dan keadaan terisolasi tanpa adanya satu orang pun di sana, hanya Jaddenio sendiri. 

Rambut abu-abunya yang acak-acakan serta mata tajam bagai serigala terkurung dalam kandang besi membuat banyak sipir penjara bergidik ngeri, terlebih dengan kasus-kasus yang menjeratnya membuat para sipir enggan mengganggu atau mangajak dia berbicara. 

Helaan napas terdengar dari sosok tampan yang sedang bersandar pada dinding penjara, pikirannya nampak berkelana mengingat bagaimana bisa dia tertangkap beberapa bulan lalu setelah melakukan transaksi. 

6 bulan lalu ....

“Senang berkerja sama denganmu Amon, aku harap kerja sama kita tidak hanya sampai di sini saja,” ucap seorang pria paruh baya berjas hitam dengan rambut yang disemir rapih, mengulurkan tangannya kepada Jade, dibalas dengan senang hati olehnya. 

“Tentu, kuharap kau menjadi pelanggan tetap kami. Apalagi kau sudah tahu bukan bahwa senjata yang aku tawarkan bukan barang murah yang pasaran.” Dia baru saja melakukan transaksi ilegal yang sudah menjadi perkerjaan pokoknyanya dalam dunia hitam ini, wajah datar serta tatapan angkuh menjadi ciri khas dari Jade saat sedang melakukan transaksi. 

Setelah menyelesaikan segalanya, Jade melangkah keluar dari gang sempit tempat mereka melakukan transaksi sambil membawa koper berisi uang penuh, melangkahkan kaki menuju sebuah mobil BMW E46 M3 berwarna hitam yang kali ini dia bawa, meletakkan koper ke samping kursi pengemudi dan menjalankan mobil menuju markas tanpa menyadari bahwa koper berisi uang tersebut terselip GPS.

Di tengah perjalanan dia diapit oleh dua mobil Lamborghini merah yang menabrakkan tubuh ke mobil milik Jade, hingga terguncang dan mulai lepas kontrol. Karena geram, Jade pun langsung menginjak pedal rem mobil secara mendadak buat kedua mobil itu saling tabrakan di depan sana kemudian langsung mengganti gigi 1 menjadi gigi 2 lalu menginjak pedal gas secara full, menghindari beberapa mobil yang kembali mengejarnya. Terus mengendarai untuk menghindari orang-orang yang mengejarnya hingga tanpa sadar ia digiring ke tempat sepi, sungguh sial. Harusnya jika begini dia akan membawa satu anak buah untuk menemaninya bertransaksi.

“Oh damn it!” umpatnya kala melihat banyak sekali mobil juga pasukan khusus sudah menghadang di depan, mau tidak mau dia memberhentikan mobil lalu keluar dari sana, betapa terkejutnya dia melihat pelanggan yang tadi berdiri di antara orang-orang tengah mengacungkan senjata kepada dirinya.

Bagus sekali, Jade ternyata ditipu dan dia tidak menyadarinya. Melihat bahwa melawan hanya akan menghabiskan banyak tenaga dengan suka rela dia menyerahkan diri pada pihak berwajib. “Tak kusangka kau menyerah secepat ini, apa sudah benar-benar putus asa anak muda?” ucap laki-laki paruh baya yang ternyata seorang ketua mafia ada di bawah kuasa negara, Jade hanya terkekeh tanpa membalas, dan masuk ke dalam mobil polisi dengan kondisi tangan diborgol. 

...

Kembali terdengar helaan napas dari Jade, ini sudah 6 bulan dan dia tidak menemukan celah sedikitpun untuk menghubungi anak buahnya, dia sekarang hanya bisa mengharapkan tanda terakhir yang dia buat 6 bulan lalu saat tertangkap agar dapat dikenali oleh anak buah nya. 

TAK... TAK... TAK.... 

Suara ketukan tongkat pada besi penjara, “Kiriman makanan dari kekasihmu!” ucap seorang sipir memasukkan sebuah kotak makan yang t'lah dibuka, pasti sebelumnya dicek oleh sipir penjaga sel tahanannya. 

Dengan kebingungan dia melangkah lalu mengambil makanan itu, seingatnya dia dan kekasihnya sudah putus tahun lalu. Dia tidak memiliki kekasih sekarang, namun saat merasakan suatu benda kecil dengan tekstur seperti kunci di telapak tangan yang dia langsung tatap pada sipir itu, lalu dibalas kedipan olehnya, dengan segera dia duduk dan mengacak-acak makanan dan benar sekali, terdapat sebuah kertas yang dibungkus oleh plastik obat bening kecil, terkubur dalam nasi yang disuguhkan untuknya. 

‘Tuan Jade kami akan membantumu untuk keluar, tengah malam nanti bukalah pintu sel dengan kunci yang sudah kuberi, aku dan lainnya akan memberikan sedikit pertunjukan untuk para sipir menyebalkan ini, saat mereka sedang sibuk kaburlah ke tembok belakang penjara ini, kami sudah membuat pintu keluar darurat untukmu’. Begitulah isi surat tersebut, dengan senyum yang merekah Jade putuskan untuk tidur hingga menunggu tengah malam. 

23.00. Sebuah alarm darurat berbunyi nyaring, membangunkan semua penghuni penjara begitupula dengan para sipir penjaga sel milik Jade langsung bangun dan tergesa-gesa menuju tempat bel darurat dibunyikan. Melihat kekacauan di luar sana, dengan sigap Jade melakukan rencana seperti yang tertera pada surat tadi.

Setelah membuka pintu dan keluar, Jade coba berjalan ke arah depan dan mengintip apa saja yang terjadi, senyum miringnya tercetak jelas, sungguh pintar mereka membuat kekacauan dengan membuka semua pintu sel yang buat para napi bebas untuk keluar dan kabur. Melihat keadaan di depan sana begitu kacau, Jade berlari ke arah belakang penjara dan mendekati tembok, kemudian mulai mencari pintu darurat yang ditulis oleh bawahannya tadi, tepat setelah dia menemukan sebuah suara tembakan terdengar dari keluar penjara, sepertinya rencana kabur Jade sudah diketahui para sipir dan polisi di dalam penjara tersebut. 

Dengan tergesa dia keluar penjara melalui lubang kecil yang dibuat menjadi pintu darurat untuk ia kabur, setelah keluar sepenuhnya, Jade dengan seluruh tenaga berlari sekencang mungking menjauhi penjara tersebut, mencari tempat untuk bersembunyi sembari menatap ke belakang memastikan tidak ada satu pun orang mengejar, suara sirine mobil polisi mulai terdengar membuat Jade makin panik hingga dia melihat sebuah terowongan air di bawah jembatan jalanan, dengan cepat dia masuk dan bersembunyi di dalam terowongan tersebut. 

Suaranya terengah-engah kelelahan setelah berlari cukup jauh menjadi satu-satunya suara dalam terowongan itu, mendengar sirine polisi mendekat buat Jade menahan napas untuk hilangkan suara apa saja, tanpa disadari ada sosok lain dalam terowongan tersebut, sosok tersebut melemparkan sebuah Hoodie abu-abu besar ke arah Jade hingga laki-laki itu terkejut dan membalikkan badannya ke arah belakang.

Di dalam remang-remang dia melihat sosok laki-laki yang sekiranya tinggi sekali sedang menempelkan jari telunjuk dia di depan bibirnya, meminta Jade untuk diam dan keluar dari terowongan itu, tak lama setelah ia keluar, suara sirine mobil polisi mulai menjauh dan menghilang. Setelahnya ia masuk kembali ke terowongan dan menatap Jade sambil tersenyum. “Panggil saja aku Laurie, Jade. Imbalan bantuannya tentu tidak cuma-cuma. Jadi mau bergabung dalam bisnisku?” ucap laki-laki yang bernama Laurie sambil ulurkan tangan pada Jade, tanpa membalas ucapan Laurie dia langsung menjabat tangan sambil tersenyum tipis. “Terima kasih, semoga kita menjadi rekan yang baik.” Perkataan Laurie menjadi penutup pertemuan pertama Jade dengan sosok laki-laki cantik seperti Laurie. Tanpa tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.

Siapa yang mengira sebuah kecelakaan untuk menyelamatkan hidupmu bisa mendatangkan tawaran keberuntungan hanya demi mengikuti rencana perampokan. Memang tak ada yang menyangka. Tapi aku diam-diam berpikir, Amon jelas orang paling aktif berdiskusi dari kami semua. Ia bisa menjadi rekan terhebat.

Kemudian aku lanjutkan orang yang duduk di belakang Amon. Dia adalah Roger. Ia tak henti pandangi Loren sedari tadi, entah mengapa. Ada sesuatu ketika mereka perdana bertemu, bisa jadi. Sedikit tentangnya, pembunuhan satu keluarga besar, Smith. Mungkin dia orang pendendam. Roger rajanya dalam berkelahi? Tapi berkelahi di tempat diskotek-diskotek. Benar-benar berdarah panas. Dia adalah bom waktu tapi tak mudah menggelabuinya.

Nicholas Reiner tak pernah mengira tujuannya membawa diri ke tengah kota. Berusaha ikuti instruksi seperti yang orang-orang hapal dan memberitahunya tadi di jalan bahwa, “Di sudut pertigaan ada toko tatto besar, Patiwardhana namanya. Kalau kamu pergi ke kanan adalah jalan raya, dan sebelah kiri merupakan tempat makan.”

Reiner memasuki Patiwardhana dan ia disuguhi harum aromaterapi dari lavender. Pemiliknya mungkin pecinta bau-bau bunga. Kemudian mendatangi seseorang di sana menanyakan pentatto terbaik di studio itu. Kemudian Reiner dibawa untuk menemui orang bernama Laurie.

Seseorang baru saja menyelesaikan tugasnya. Dan Reiner akan menjadi yang selanjutnya. Ia duduk di sana lalu menyapa. “Laurie?”

“Ya?” Ia mendongak. Ada sedikit hening di antara mereka. “Ada yang bisa kubantu?”

Reiner mengangkat kedua alis. “Apa kau punya rekomendasi design tattoo yang cocok untukku?” Laurie tersenyum tipis. “Apapun yang ingin kau pakai sepertinya akan bagus.”

Pujiannya bagus juga. “Kalau begitu gunakan saja namamu.” Laurie terkejut kecil dengar permintaan Reiner. “Maaf? Tapi mengapa?”

“Hanya ingin. Laurie kau tidak mungkin protes iya 'kan? Jadi turuti saja pelangganmu.” Reiner memang sedikit memaksa. Tapi ia tidak ingin kehilangan kesempatan. Jelas Laurie merasa ketakutan di dalam diri, takut pekerjaannya menjadi ancaman jika Reiner tidak dilayani sesuai pesanan. Maka ketika Reiner menuntun Laurie kepada panggul di mana adalah bagian tubuh yang ditato—tentu sesudah ia melepas bagian bawahnya. Ia menuruti kemudian mulai persiapkan alat dengan sigap, membersihkan jarum-jarum menggunakan alat yang sudah disterilisasi, meletakkan kedua tangannya di atas panggul sang ‘pelanggan’, jua menghirup napas gugup sebentar—bukan tabiatnya ia merasa gelisah padahal sudah ahli—ia pun menempelkan ujung jarum di atas kulit. Laurie ikut merasakan sakitnya jarum sedikit demi sedikit menembus kulit pria di hadapannya, namun seperti sudah terbiasa, Reiner hanya menampilkan tatapan mata datar namun sedikit mengintimidasinya, walau sudut bibir tiada henti sunggingkan senyum tertahan.

Reiner dengan khayal-khayal manis di dalam penalarannya termenung. Ada tempat paling liar yang singgah dalam pikiran selama Laurie mulai melukis tinta hitam itu pada tubuh Reiner. Karena tak ingin ada situasi canggung, Laurie melempar beberapa tanya. “Nicholas Reiner, yang pernah membunuh sebuah keluarga besar. Benarkah?”

Kini ada sedikit rasa kesal karena di mata si cantik, reputasinya sudah buruk saja. Namun ia tetap mengangguk, tidak mengelak. Dan Laurie pun paham situasi. “Pasti kau pandai dalam menggunakan senjata? Kapan-kapan ingin memperlihatkannya padaku?”

“Kau yakin?” Reiner tidak menyangka tawaran bertemu kembali akan datang secepat ini. Ia akhirnya mengangguk dengan antusias. “Tentu saja, kau ingin kapan itu dilakukan?” Ada kebingungan di raut wajah Laurie. Sedikit aneh karena mereka baru bertemu tetapi mirip kawan lama. Tapi tak lama, Laurie memberikan senyum manis sedetik kemudian, hingga netra hampir saja menghilang. “Sebetulnya aku ingin tawari dirimu sebuah bisnis agar kita menjadi rekanan, Reiner, apakah tetap diterima ajakan seperti itu?”

Persetan dengan bising dari suara wira-wiri pelanggan di dalam studio Patiwardhana. Reiner hanya membayangkan bagaimana mereka akan bertemu kembali. Kapankah? Besok? Lusa? Ia sungguh tidak sabar. Dan tentu tiada penolakan atas tawaran Laurie. Reiner tersenyum dan rela menghabiskan waktu lebih lama bersama Laurie meski bisa jadi setengah gila. Tapi astaga, Nicholas Reiner hanya jatuh cinta pada pandangan pertama. Itu adalah rasa yang langka untuk dirasakannya. Begitu asing tetapi ia hampir hilang akal memikirkan skenario mereka selanjutnya.

Meski diriku memang tak tahu bagaimana Pak Roger bertemu dengan Loren tapi jelas ada sesuatu di antara mereka. Roger memang senang tertawa ketika berdiskusi dengan kami, walau ia terkenal paling menyeramkan dari semuanya. Tapi entah mengapa, pandangan mata itu berubah ketika menatap Loren. Bukan urusanku pula. Hanya penasaran saja.

Lalu yang sedang mengusap dagu tengah berpikir keras ada duduk di belakang Roger adalah Jemish. Dia seperti Mozart, tapi memakai komputer. Dan dia tahu seluk-beluk alarm serta elektronik. Jemish pernah membuat program sendiri di usia muda. Dan dia seorang hacker paling ahli dalam meretas segala hal.

Siang dan malam, gelap dan terang, hari demi hari dijalani seorang diri. Pindah hunian dari rumah ke rumah seperti manusia yang tak pernah tahu bagaimana caranya pulang. Jika dipikir rasa letih pun sudah menjadi teman, lalu menjadi buronan adalah sebuah kesialan.

Djafar, menatap replika paling besar di ibukota yang menampilkan orang-orang kaya dengan senyum senang. Lalu berkhayal jika orang itu adalah dirinya, namun tak lama tersenyum kecut habis tertembak kenyataan. Bagaimana jika ia ambil semua kekayaan milik orang ber-jas rapih itu? Sementara di tangannya hanya ada roti kering sisa kemarin, reputasinya sebagai pria miskin semakin terlihat. Namun di balik itu semua ada rasa bebas didalam jiwa, saat seperti terbangun tidur ia bisa lebih bebas menghisap nikotin tanpa harus dimarahi karena tidak sarapan terlebih dahulu, lalu saat harus pulang larut malam ia pun tidak khawatir pasal keluarga yang akan menyuruhnya pulang lebih awal. Life is freedom but hidup sendiri tak se-menyenangkan itu.

“Kadang gua juga butuh pasangan untuk melengkapi hidup.”

Dengan alasan lain ia memutuskan mencari keramaian walau berakhir pada lampu temaram dengan para gadis menawan yang hanya ia temui sekali semalam. “Gila, rasanya nggak bisa berhenti walaupun gua mau.” Sesak, senyap juga ramai, sangat ramai seperti isi kepalanya saat ini. Djafar tak punya banyak pilihan selain hidup susah namun mempunyai kebebasan atau hidup bergelimang harta namun dikejar masa.

Kehidupannya sudah gelap, tak punya hunian tetap, harta tak kunjung banyak sebab habis terpakai untuk sesuatu hal yang tak jelas dan berakhir lenyap. Mau tidak mau ia harus rajin bertransaksi uang dengan para bajingan demi mempertahankan hidup. ”Ya Tuhan, hidup tanpa uang mau jadi apa? Gelandangan jalan atau pengemis ibu kota? Tai anjing! Apapun itu akan gua lakuin demi uang.”

Julukannya ‘Si Handal yang Pintar’ kini kedua netranya tak teralihkan dari layar yang menyala, jarinya bergerak mengukir sandi paling sulit untuk dipecahkan. Walaupun otodidak, keahliannya ini cukup bagus untuk menghasilkan duit. Lagi-lagi duit. Hidup memang tidak bisa berjalan tanpa duit.

Sampai akhirnya Djafar hampir tertangkap oleh para keparat polisi. Menjadi buronan tak buat dia miliki kehidupan tenang. Berpindah-pindah tempat selalu, dan kembali beradaptasi. Tetapi kali ini ada yang menarik dari pelarian dirinya, ia bertemu dengan orang asing yang sok kenal berlagak mengakrabkan diri ketika Djafar tengah bersembunyi di balik tembok besar. Sedang polisi berkeliaran di sekitarannya.

“Butuh bantuan Djafar?” suara tersebut buat Djafar kaget tak terkira. Ia hanya membalas dengan acuh, “Siapa? Gua nggak kenal lu.”

“Tapi aku mengenalmu.” Nampak lelaki tersebut berjongkok demi mendekati Djafar yang duduk sembari memeluk tas ransel berisi uang, tengah sibuk menengok ke belakang dekat para polisi sedang mencarinya. Merasa bahwa ini kesempatan tepat mengajukan penawaran, lelaki itu pun beraksi. “Bergabunglah dengan komplotanku, Djafar, kuberikan tempat persembunyian paling aman nanti.” 

“Apa gua terlihat seperti orang tolol? Gimana bisa gua percaya sama lu?” Ia lalu melihat ke sekeliling. “Aku Laurie. Selain persembunyian aku juga akan memberikanmu sebuah bisnis.”

Djafar Wildson. Hidupnya mungkin biasa saja, atensinya tak sepenting orang kaya, pula perjalanannya tak layak untuk dirayakan namun ia ingin hidup layak seperti manusia sediakala. Maka demi berlangsungnya kejayaan hidup yang lama ia nanti-nantikan. Jalan satu-satunya selamat dari para keparat adalah menerima tawaran Laurie.

Dan mungkin begitulah Jemish menjadi orang yang paling akrab dengan Loren, sebab kulihat dari lagaknya. Mereka sering menukar pandang seolah paham pemikiran antar satu sama lain.

Karena para rekan lelaki sudah kuperkenalkan. Akan kulanjut ke bagian wanitanya Suargaloka.

Yang duduk di belakangnya Jemish adalah Oliver. Dia kelemahanku. Bila selalu ada prajurit di setiap tim, Oliver tak bisa ditandingi. Ia senang bertarung. Semua rencana paling canggih pun perlu penyerang paling kompetitif. Oliver juga memiliki kelogisan dalam berpikir. Mungkin itu yang membuatnya makin menarik.

Brianne Marionnette melihat gumpalan krim itu, warnanya merah muda mencerminkan keceriaan. Kini netra beralih pada anak-anak yang sedang berada di taman, menikmati es krim. Lalu terbesit di pikiran, apakah dulu dirinya juga seperti itu? Lugu, naif, dan ceria, tak pernah terpikirkan begini nasibnya setelah lebih dari dua dekade menjalani lika-liku hidup. Memang, perihal hidup tiada yang tahu.

Samar-samar Brianne melihat tubuh gagah perkasa, dibungkus hawa dingin belakangnya anak-anak. Memang, para bocah naif itu tak gentar dari tempat mereka, namun hormon adrenalin di tubuh sang gadis es krim itu berpacu, seolah melihat malaikat pencabut nyawa. Instingnya berkata lari.

“Sialan!” umpatnya. Lalu Brianne lari begitu saja, meninggalkan gerobak di tengah taman. Langkah besar diambil, memijak apapun yang ia lihat, mata gesit melihat celah untuk kabur, dan tak jarang buat orang sekitar memekik kaget, tak lupa sumpah serapah terucap.

“Bayar hutangmu!” sang figur berdarah dingin mengeluarkan kalimat itu berkali-kali, penuh emosi serta amarah.

Masih melanjutkan lari ke dalam gang kecil dengan gesit, Brianne berseru, “Aku tidak pernah berhutang padamu! Mintalah pada pengacara bobrok itu!” Penuh cekatan, Brianne menghilang dari pandangan sang lelaki gagah, mencapai titik butanya. Deru napas tak teratur akibat menaiki tangga demi tangga dengan hati-hati, sengaja agar tak menimbulkan suara. Saat sampai pada lantai teratas gedung tak berpenghuni itu, ia melihat suasana di bawah, sudah aman. Ironis, ia berpikir sambil beringsut duduk dan menetralkan pola napas.

Sesaat setelahnya, Brianne membiarkan diri kembali ke rumah, dengan penuh peluh singgah di sekujur tubuh, ia memasuki bangunan pintu kayu yang sudah rapuh dimakan usia. Mengeluarkan sebatang rokok dari nakas. Sunyi, namun kepala berisik, memikirkan nasib setelah ini. “Bangsat!” Ia berteriak sembari menendang penuh emosi pada tumpukan sampah di depan.

Lalu dinyalakan televisi berharap mendapatkan distraksi. Masih dengan asap mengepul di dalam atap rendah, Brianne mengistirahatkan pikiran. Karena dari dulu, hidup memang sudah berantakan. Banyak tinta keji menghampiri ia.  Pembunuhan terhadap guru, pencurian emas, penggunaan narkotika. Hal tersebut membuat ia hafal bau khas ruangan berjeruji besi, ruangan sidang menampilkan manusia penuh tekad jahat di sudut ruang. Ayahnya. Ayah yang peduli namun tak menganggap eksistensinya, hanya dianggap sampah yang rutin diurus. Jika tidak pun tinggal buang saja, biadab memang. Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya bukan?

Jauh dari kata nikmat, bangun tidur kala ini menambah penat. Brianne bangun dari istirahat singkat akibat notifikasi masuk dari bos pemilik es krim, bertanya setoran dan gerobak yang belum sampai pada sang empu. Dan satu lagi pesan dari orang tak dikenal, menunjukkan bangunan tempat ia tinggal, pasti dari si penagih utang, kini tak tahu lagi ia harus bersembunyi di mana. Brianne melempar gawainya ke sembarang arah, lalu atensi terarah pada layar kaca yang menampilkan berita terkini;

Seorang wanita ditemukan tewas di kamar kosannya. Diduga wanita tersebut stres karena terlilit hutang, mayat dia ditemukan tiga hari setelah waktu kematian.

Ironis. Tak lama terdengar gedoran keras pintu, raganya beringsut takut, tapi badannya memilih keluar jendela samping untuk melarikan diri.

Namun ada yang janggal ketika Brianne melirik ke bawah. Bayangannya, bukan seperti orang yang biasa ia kenal, bukan orang yang biasa mencari kehadirannya, terlampau tinggi dan jauh lebih proporsional. Ini orang yang berbeda.

Sekarang tibalah Brianne dengan langkah besar dan gusar ke tempat siang tadi ia berlindung. Namun lelaki yang mengincarnya justru tiba lebih dulu, ia mengetahui tempat persembunyiannya, dan ini pertanda buruk.

“Siapa?! Siapa kau?! Aku tidak punya uang untuk membayar hutang, jadi pergilah!” ujarnya berani. “Aku habisi kau jika berani mendekat!” 

Namun, seperti orang tak kenal mati, lelaki itu menampakkan wujudnya di hadapan Brianne, tersenyum penuh arti. Brianne tak sadar jika ia memundurkan langkahnya, tak sadar sudah ada di tepi bangunan, dekat jurang curam, hanya ada jalan penuh batu dan barang usang.

“Oke, permainan selesai … begitu juga dengan hidupku akan berakhir kira-kira.”

Baginya, tak ada alasan yang harus disesali jika kematiannya terjadi hari ini. Entah surga atau neraka tujuan akhir, hal penting yaitu tiada lagi pelarian sengit penuh adrenalin dan peluh, tak ada lagi alat pemacu jantung yang membuat was-was tiap hari, dan tak ada lagi beban yang harus dipikul. Namun sepersekian detik ia buka mata, dirinya ada di atas permukaan semen, bukan batu ataupun barang usang yang ia lihat. Ia gagal. Dan lelaki tinggi yang ia sempat lirik kini berada di hadapannya. “Brianne, aku tahu kau butuh uang, bergabunglah dalam bisnisku, untuk membangun rencana perampokan luar biasa.” Lelaki itu akhirnya bersuara, kata-kata persuasif, membuatnya menjadi tokoh apik sepanjang sejarahnya hidup sebagai manusia.

Aku yakin kisah Oliver menarik selepas kami benar-benar berpisah dan memilih jalan hidup damai bagi masing-masing. Aku harap begitu.

Dan kita beralih ke rekan kami yang paling muda dalam komplotan, yaitu Kaz. Untuk urusan lain, dia masihlah anak kemarin sore. Namun semua keadaan, bisa ia putar balikkan. Kaz memiliki bakat mengintai yang hebat, hal itu terlihat dari cara ia memandangi kami lewat ekor matanya. Ia selalu teliti, penuh hati-hati.

Bar dalam sebuah klub malam tidak terlalu padat kali ini. Orang-orang sibuk berdansa ria diiringi dengan musik berdentuman keras. Tapi karena sudah terlalu lama menghabiskan waktu di lantai dansa, Genevieve beristirahat sejenak untuk minum di bar. Mungkin karena sifatnya mudah berbaur bersama orang asing, Genevieve mengajak ngobrol lelaki tinggi di sampingnya. Dapat untung sebab Genevieve kesepian datang ke klub malam tanpa kawan.

Genevieve tampak menggeser gelas minuman ke arah kanan lebih dekat. “Mau berkenalan?” Genevieve menunggu hingga pemuda berpostur tinggi tersebut menatapnya. “Aku Genevieve, 20 tahun.”

Genevieve tengah sibuk melemparkan tatapan memuja kala lelaki itu menjawab. “Laurie.” Tak ingin diam saja menghentikan obrolan begitu, Genevieve lanjut menanyakan hal-hal pribadi.

“Kau sendirian di sini Laurie?” Nampak Laurie hanya terkekeh kecil dan mengangguk. Lalu Genevieve lanjut melemparkan pertanyaan remeh. “Apa pekerjaanmu?” Namun kesalnya karena tanya itu dijawab dengan tanya lagi. “Menurutmu?” yang membuat Genevieve balik pandangi jari-jemari Laurie sembari menyentuh panjang ujung tangan tersebut.

“Apa kau seorang seniman? Atau pandai dalam bermain gitar?” Sekali lagi, Laurie tersenyum tipis. Ia mengangguk. “Tidak salah. Aku senang bermain gitar dan menciptakan lagu.” Bagi Genevieve, itu sungguh keren. “Aku suka pria yang bisa memainkan alat musik.”

Laurie jelas mengerti bahwa Genevieve tidak pandai dalam menggoda pria dewasa. Tapi siasat pendekatan yang dilakukan Genevieve mudah diketahui oleh Laurie. Maka ketika Genevieve ditarik menuju ruangan pribadi, ia tak menolak. Tetapi hampir protes dengan kasar ia dilempar masuk ke dalam bilik.

“Berhentilah, Genevieve. Sudah cukup tipuan permainannya.” Genevieve tidak terima akan hal itu. Tetapi lihat perlakuan Laurie barusan padanya mengingatkan ia pada alasan dulu Genevieve membenci pertemanan. Ia pernah dirundung secara kasar tanpa siapapun sudi memedulikan dirinya. Sehingga kala Laurie bertindak demikian, ia hampir meledakkan diri.

“Maaf jika menyakitimu. Tapi kedatanganku ke sini bukan untuk bermain, Genevieve.” Ia bantu Genevieve berdiri dengan mengulurkan tangan. “Lalu apa maumu?” Laurie menunjuk ponsel di hasta Genevieve. “Aku tahu kau ahlinya dalam mengintai sesuatu. Jadi aku ingin menawarkan sebuah bisnis.” Genevieve pun angkat satu alis. Kelihatannya menarik. Lebih dari itu bahkan.

Namun aku tidak tahu bagaimana Kaz bisa tertarik ke dalam rencana perampokan ini. Tak ada jaminan bahwa kami semua bisa kembali meniti hayat damai secara selamat dengan membawa semua uang. Namun Kaz itu masih muda, masa hidupnya pun panjang tetapi ia pilih habiskan untuk menyerang rakyat kota.

Lalu yang paling terakhir, adalah Ella. Seorang optimis tangguh. Dia bisa mudah memahami kapitalisme di setiap negara. Pernah membuat uang palsu sendiri sejak kecil. Tangannya seringkali berselimutkan darah hanya demi membalas perbuatan keparat sinting di Paris tempat ia tinggal. Dia sekarang jadi manager penahanan uang kami. Ella mungkin hiperaktif, tapi terkadang dia lebih banyak diamnya.

Aruna terbangun dari bayang-bayang kejadian di mana ia hampir tertangkap oleh pihak polisi. Ada pistol di tangan yang siap siaga untuk menembak, tetapi Aruna menangis mengingat bahwa traumanya kembali menghantui. Masih terlihat dari televisi hingga radio jika orang-orang menginginkan Aruna mendekam di penjara selepas membunuh seseorang.

‘Keberadaan tersangka tidak diketahui ...’

Ia putuskan pergi dari persembunyian. Berniat menelepon nenek dan pamit supaya tak cari keberadaan Aruna lagi. Maka mulailah ia kemasi barang-barang berharga 'tuk dibawa, mengenakan pakaian tebal lalu tutup wajah dengan penyamaran. Karena pihak berwajib tentu tengah berkeliaran cari kepalanya. 

Aruna sudah bersembunyi selama 11 hari, dan foto telah tersebar di seluruh dinding kantor polisinya kota Paris. Hukuman 30 tahun penjara. Namun Aruna bukan tipe gadis yang mau menghabiskan masa tua di penjara. Jadi dia lebih baik memilih untuk melarikan diri.

Pertama-tama menelepon nenek dengan sandiwara seolah ia peduli. Maka Aruna hampiri telepon umum. “Halo, Nek?”

“Aruna? Kemana saja kau? Apa yang tengah terjadi? Dan, bagaimana kabarmu sayang?”

“Aku yakin nenek sudah melihat berita yang telah disiarkan tentangku. Dan aku ingin pindah ke suatu negara. Sehingga aku berpamitan padamu, lewat telepon ini.”

“Tidak sopan kau. Apa itu artinya kau tidak akan kembali untuk bertemu denganku? Juga menolak tawaran bukan lalu?”

Nenek sudah tua tapi tidak pernah lupa akan keinginannya. Ia masih saja memaksa Aruna demi menjalankan bisnis agar memanfaatkan kepintarannya saja. “Nenek pun bisa bertemu denganku.” Terdengar tawa kecil. “Bertemu di mana? Di kuburan maksudmu?”

Aruna terdiam saja mendengarnya. “Temui aku di stasiun, Aruna, kita harus bincang langsung.” Dia benar-benar memerintah selayaknya bos.

Telepon dimatikan. Tanpa pikir panjang, Aruna berniat temui neneknya sebentar lalu pintai beberapa uang supaya bisa berpergian ke negara orang. Namun hari itu, ia tak pernah menyangka malaikat penjaganya muncul. Padahal jelas manusia tidak tahu wajah seorang malaikat sesungguhnya.

“Mademoiselle¹. Bisa berbicara sebentar?”

Aruna melirik dengan sinis. ”Non².”

“Kau tahu, pelarian ke negeri orang sebetulnya tidak terlalu menguntungkan bahkan mayoritas penduduk mendapat rugi.” Aruna pikir orang itu hanyalah sok tahu dan berlagak kenal padahal dekat dengannya saja tidak. Tapi ia berhasil masuk lalu mengarahkan pistol di kemaluan lelaki itu secara sigap. “Siapa kau? Polisi?”

“Tunggu, tunggu. Nenekmu yang baru saja menelepon. Ia telah berdusta. Memancing dirimu bertemu lalu menjebakmu di sana.” Lelaki itu berkata sembari menunjukkan bahwa tentara penembak yang jua bagian dari badan petugas kepolisian, mengamati seluruh sudut luaran rumah neneknya Aruna. Dan jika benar mereka bertemu, Aruna pasti ditangkap lalu nenek peyot bisa mendapat upah jutaan.

“Makanya aku datang untuk membantumu.” Ia masih melontarkan kalimat penenang. “Aku ingin menawarimu bisnis, perampokan yang tak ada duanya. Aku sedang mencari orang yang tidak memiliki harapan untuk hidup, Aruna, seperti dirimu. Apa kau memikirkan tentang 2 miliyar bahkan bisa lebih dari itu?”

Aruna berpikir bahwa belum pernah ada orang yang melakukan tugas seperti itu. Bahkan di Paris, Seattle, Jakarta, ataupun Monte Carlo. Jadi kalau foto Aruna harus muncul kembali di surat kabar dan media lain, paling tidak ia tak keberatan karena ia ikut campur dalam perampokan terbesar dalam sejarah.

Ada setitik kilatan cahaya bangga di mata Ella. Mungkin itu yang membuatnya selalu antusias apabila Loren angkat bicara mengenai rencana. Aku yakin bila ia memiliki keyakinan semua ini akan berhasil dengan baik. Dan kami ingin hidup dengan banyak kekayaan kembali.

Kemudian tentu saja yang satu ini tidak boleh dilewatkan. Loren, si tinggi semampai dan biang keladi dari seluruh rencana perampokan. Di antara kami semua, tak ada yang pernah tahu jika dia hidup sebelumnya. Bahkan ketahui darimana asal tempat ia tinggal. Jejak kriminal ada, namun ia bukan sembarang buronan karena wajahnya tidak pernah nampak di TV, koran, dan media lain. Jadi prinsipnya, dia itu hantu yang sangat pintar. Ahlinya dari para ahli.

Sekarang Loren menatap kami semua sambil memicingkan mata. “Ingat ini, kita tidak akan mencuri uang orang lain. Mereka bahkan bisa berpikir, kita adalah orang yang baik. Karena, bagaimana bisa tak ada orang memikirkan cara merampok seperti ini sebelumnya selain kita?”

Ada cela tawa kecil melayang di udara. “Kita juga tidak boleh melukai, membunuh, apalagi mengorbankan nyawa seseorang. Dan ini sangat penting agar opini publik berada di pihak kita.” Jeda sunyi terdengar, suara angin menguasai sebelum Loren hembuskan kalimat menegangkan. “Kita harus membangun citra, bahwa kita pahlawan bagi mereka. Tapi kalian harus sangat berhati-hati, karena begitu ada darah menetes, atau bila ada satu saja korban, kita tidak lagi menjadi pahlawan dan hanya akan menjadi bajingan konyol. Ini penting.”

Ia pun membalikkan badan sejenak. Lalu kembali menghadap kami. Menatap bersama mata memicing. “Ada pertanyaan?”

Aku mengangkat tangan. “Loren.”

“Ya, Nona Nadhin?”

“Apa yang kita rampok?”

Ada hening kembali mengudara, ia berjalan ke tengah. Berpusat pandangan ke depan hingga menunjuk benda di belakang bangku kami semua. Serentak kepala rekan-rekan dan aku menoleh ke arah yang ditunjuk. Sebuah monumen kecil berbentuk bangunan besar.

“Badan Pencetakan Uang Amerika.”

Aku yakin rencananya tidak akan mudah dan sangat teratur. Tapi jelas, ini sungguhlah keren.






BERSAMBUNG.



POJOK BAHASA:
1. Mademoiselle: Nona.
2. Non: Tidak.

Komentar

  1. gila ni cerita menarik bener. tokoh juga strong semua pasti kalo dah ic bakal keren. semangat dan lanjut terus suargaloka!

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

PEPERANGAN EGOSENTRIS.

HARKAT DITINDAS HABIS.

BIDAK-BIDAK CATUR.