MENGUKUR DALAM HITUNGAN.
PERSERIKATAN CERITA GADUNGAN. Dari si pengarang yang tak lahir dari kejapan. Tak hadir dari paksaan. Tak pula berjalan pelan. Ia melangkah dalam imajinasi dunia khayalan.
Di antara bani-bani borjuis yang bergelimang kelindan, memanglah tersua maujud mereka yang hidup begitu keji. Lantas, apa yang mesti diabsahkan sebagai aksi bila sekonyong-konyong menjumpa satu di antara pelaku nan biadab itu? KITA SEMUA HARUS MELAWAN!
Bila dalam lingkup semesta yang terlampau luas bukan kepalang, tiadalah mereka-mereka yang bengis nan jahanam, kepada,
ㅤㅤㅤㅤㅤtanah ini;
ㅤㅤㅤㅤㅤ negeri ini;
ㅤㅤㅤㅤㅤ daratan ini,
lantas akan menjadi gugusan segenap jagat yang merdesa pula memadai untuk dihuni.
—
HARI H PERAMPOKAN, 09.35 AM
Nabastala biru menyelimuti hari-hari rakyat kota. Setiap orangnya sibuk melakukan aktivitas masing-masing. Ada yang sedang berjalan terburu-buru untuk berangkat kerja karena sudah terlambat, beberapa melewati jalan trotoar sembari menyapa penjual kaki lima selama berolahraga, ada pun para pesepeda dan yang membawa kendaraan tengah berputar-putar mengelilingi bulevar.
Sekumpulan burung yang terbang dipaksa menyingkir demi memberikan jalan bagi balon udara buatan Cina untuk mengembara. Dari desain balonnya, terdapat logo topeng asal kompolotan perampokan. Dan selama balon udara tersebut diprogram untuk berkendara pada koordinat tertentu seluruh sudut kota, baru saat itulah mereka membuka palkanya. Balon udara juga akan terbang memutar dalam radius 250 meter, sambil menurunkan lembaran uang setiap 40 detik. Maka jika dihasilkan, dalam 50 menit, balon udara mampu menghujani tubuh manusia sebanyak 140.000 USD. Jadi dalam ketinggian 300 meter seperti mutiara jatuh dari langit, orang-orang seolah masuk ke suatu sarang singa mahal. Masuk akal sebagian jarahan berakhir untuk rakyat.
Mendapati hujan deras uang itu, segala rakyat serentak berhenti melakukan kegiatan mereka masing-masing demi mengambil sebanyak-banyaknya uang yang jatuh dari balon udara tersebut. Wajahnya bahagia sekali, untuk sesaat masyarakat dalam keadaan ricuh. Bahkan jalanan kota menjadi tidak kondusif lantaran mobil-mobil berhenti di tengah jalan sedangkan supir keluar memunguti uang berjatuhan tanpa kenal suasana sekitar.
Belum cukup menciptakan kekacauan massa. Loren pun menampakkan diri di layar-layar besar tengah kota. Rakyat yang sedang sibuk ambil uang bagian mereka seketika terdiam, fokus kepada layar tersebut. Benak bertanya-tanya mengenai hal-hal lain akan terjadi, kemudian ada keperluan apakah seseorang di layar lebar itu menggunakan topeng persis dengan balon udara penghambur uang tadi bersama rompi merah yang dikenakan secara sangat tertutup.
Paham bahwa sudah saatnya berbicara karena t'lah berhasil ambil perhatian publik. Loren pun mencoba kesempatan itu. “Pesan ini, ditujukan untuk semua yang percaya bahwa topeng ini adalah simbol perlawanan. Kami butuh kalian. Negara menyatakan perang 'tuk melawan kami. Perang kotor. Dan kami sudah putuskan, akan ikut melawan mereka juga.”
Mendengar pembicaraan serius yang dilontarkan oleh Loren, rakyat berbondong-bondong menyalakan ponsel dan mulai merekam aksi itu. Sedetik kemudian ada glitch pada layar lebar, meskipun menggunakan seragam sama namun pembicaranya sudah berbeda lagi. Kali ini Roger angkat bicara, “Sebagian besar kalian menganggap bahwa kami tidak lebih dari sampah masyarakat. Silahkan pakai anggapan itu sampai kamilah yang nanti melengserkan kedudukan pemerintah. Pada dasarnya, tujuan kita semua sama, bertahan hidup dan bebas dari belenggu asas tanpa keadilan.”
Para rakyat memasang ekspresi terkejut. Lalu suara berubah menjadi seorang wanita. Oliver kini mengambil alih. “Banyak masyarakat terbengkalai, kota macam tak berpenghuni sebab manusia berjas tengah sibuk berpesta menggunakan uang mereka juga. Tak peduli dengan nasib ayam malang berkeliaran mengais tanah demi sebutir beras. Tiang keadilan t'lah runtuh, masyarakat bagaikan alat pemuas semata.” Dengan demikian, semua ada di ambang kebingungan. Setelah Oliver cukup menyelesaikan perkataan, Loren kembali lagi muncul di layar-layar kaca besar.
Ia membuka penutup kepala pada rompi merah yang digunakan. Namun Loren tidak melepas topeng pada rupa. “Polisi menahan salah satu dari kami di luar negeri. Dia, Nadhin. Hampir dua bulan sejak penangkapannya terjadi. Tak ada proses hukum yang dimulai. Tak ada permintaan ekstradisi. Pengacara tak payah disediakan. Dia ditahan ... di tempat yang tak kami ketahui. Dengan kemungkinan ia disiksa. Kami menuntut penghentian segera penahanan ilegal ini, karena dia diadili dalam cara yang tak menghormati semua sistem hukum. Negara memulai perang ini. Kami tak'kan sembunyi lagi, kami akan melawan. Dari satu pukulan demi pukulan. Kini, kami akan merampok besar-besaran.” Dan dengan sentuhan akhir, Ian datang mengatakan penutupan kalimat. “We must feel sorrow because the world is full of suffering. But we must not sink under its oppression.” Lalu Ian berjalan mendekati kamera, menutup dan mematikannya. Layar-layar besar tengah kota pun kembali gelap. Dan seluruh rakyat menyimpan rasa empati besar dalam benak hati mereka. Iba kepada penculikan ilegal yang dirasakan Nadhin serta rasa sedih ikut menjalar mengingat betapa kejam pemerintah menyiksa seorang perampok. Dan dari situlah, perhatian publik kini banyak memihak kepada komplotan pencuri. Lebih mengedepankan rasa keadilan, kemanusiaan, dan kemasyarakatan ketimbang berpihak pada kepentingan pemerintah pusat.
Sementaranya itu di waktu yang sama namun tak jauh dari tempat layar-layar kaca di jalan. Kepala menteri, Kolonel Ishwar, hanya akan mampu melakukan satu hal; yaitu suruh anak buahnya memanggil militer penahanan milik negara untuk menuju ke target tempat pencurian selanjutnya sembari siapkan mobil berlapis baja dan persenjataan lengkap. Jelas untuk menjaga di gedung pencadangan emas Amerika. Lalu sisanya mengkoordinasikan jalanan agar situasi kembali seperti biasa.
Semua itu sudah diprediksi oleh Loren. Maka yang dilakukannya adalah tim golongan B tengah menunggu instruksi dari Kaz di mana bertugas mengawasi aktivitas para militer kepercayaan Kolonel Ishwar. Rencananya Loren dan Roger bersama beberapa pasukan khusus dari pemberian Amon akan masuk ke bank besar milik Negara Amerika. Mereka pun siap dengan seragam militer milik negara lengkap beserta senjata serta mobil berlapis baja.
Tiga pekan sebelum aksi sebenar dimulai, tim perampokan ada di dalam ponsel CNI dan polisi melalui aplikasi WhatsApp. Hal ini dilakukan agar dapat mengaktifkan mikrofon, kamera dan GPS mereka. Butuh waktu sejam untuk mengambil alih telekomunikasi staf pertahanan. Maka ketika Jemish sedang sibuk menyelesaikan tugas, Loren putuskan untuk menyewa 65 orang peretas dari tiap kota berbeda di Amerika. Mereka genius, berkat merekalah tim perampokan punya semua akses untuk data-data lengkap mereka.
Roger yang berpakaian serupa militer asli tengah bersiap memakai rompi anti peluru, sampai Amon datang menghampirinya masih dengan rompi merah ciri khas perampokan. “Hei.” Roger hanya menoleh, sambil terus fokus pada kegiatannya. “Menurutmu, mengapa Loren merekrut Jemish kalau dia saja bisa menjadi hacker.”
Roger menyipitkan mata. “Dia tidak bisa meretas.” Amon yang mendengar jawabannya sedikit terkejut. Bagaimana lelaki kepala tiga ini bisa tahu. Kira-kira begitulah isi pikiran Amon. “Lalu?”
Roger selesai memasang rompi anti peluru. “Ia mendapat bantuan dari para peretas data profesional berjumlah 65 orang perwakilan di setiap kota-kota. Dan selama Jemish sibuk pada tim golongan A, Kaz akan mengawasi itu.”
Amon mengangguk. “Wow. Jika begitu caranya, dia bisa meretas grup arisan ibu-ibu militer.”
Roger hampir tertawa jikalau saja Loren tidak berteriak saat itu. “Pasukan Pertama, Kompi Keenam BRIPAC.” Dan semua pasukan bergegas mencari stiker penempel nama kompi sebagai penanda mobil. “Aku ulangi, Pasukan Pertama, Kompi Keenam BRIPAC. Cepat masuk dan berangkat! Waktu kita hanya 13 menit 43 detik.” Selepas Loren mengatakan hal itu, tim golongan B pun berangkat dan Amon menyusul bertugas ke tim golongan A.
—
5 bulan sebelum hari perampokan ...
Oliver sekilas melihat sosok perempuan akrab di matanya, seperti teman lama, oh atau lebih dari sekedar teman. Ia tak salah liat, benar itu Nadhin, wanita berparas bak putri kerajaan, wanita yang pernah mengisi hatinya dulu. Kenangan lama terbesit, indah sekali waktu itu.
Pun subjek yang ditatap Oliver ternyata balas memandanginya, melayangkan senyum manis, sepertinya ia memang tak terkejut akan rencana pertemuan di luar dugaan mereka. Cinta bersemi kembali. Tiada terbesit dipikiran oleh dua insan itu, terlalu kelam masa lalu, terlalu licik takdir terjadi. Entah memang karena kuasa semesta, atau akal-akalan cerdik pemilik tahta.
—
2 bulan sebelum perampokan ...
Nadhin yang terbiasa akan hingar-bingar yang disuguhkan ibukota merasa bosan karena di kota ini ia tak dapat menemukan euforianya. Terlalu sunyi, suntuk, dan jenuh, sekalipun ada sang pujaan hati di sisinya, ia tetap butuh sedikit asupan kehidupan sosial seperti sebelum memutuskan untuk bergabung ke perampokan. Maka hari itu juga ia menemui Loren. “Apa aku boleh pergi berlibur sebentar? Kita semua butuh penyegaran, bukan? Aku juga perlu melenggangkan pikiran sejenak dari rencana jeniusmu itu, aku butuh hiburan dan hura-hura,” ujar Nadhin kepada Loren.
Loren yang tengah berjemur pagi itu, terlihat menimbang-nimbang, lalu setelahnya langsung memberikan jawaban, “Baiklah, hanya diberikan satu minggu, kurasa itu sudah cukup?”
Nadhin tersenyum dan setuju akan keputusan itu. Ia langsung berjalan pergi dan mengemasi barang. Semasa sibuk dengan kegiatannya, sebuah telepon satelit jatuh tepat di depan mata. Di belakang sudah ada Oliver sedang bertolak pinggang. “Ada apa?”
“Kau akan pergi berlibur? Serius?”
Nadhin mengangguk. “Kau tak ingin ikut?”
Ia mendapat gelengan. “Aku lebih suka sunyi.”
Nadhin tergelak. Tas sudah ada di bahunya. Oliver pun menyerahkan telepon satelit kepada Nadhin, berharap agar mereka senantiasa berkomunikasi selama kekasihnya pergi berlibur. “Telepon satelit, takutnya aku rindu pada kekasih cantikku ini.”
Nadhin menerimanya. “Kau bisa rindu juga ternyata.” Telepon satelit atau biasa disebut dengan walkie-talkie berfungsi sebagai ponsel rahasia karena tidak dapat disadap serta tak membutuhkan sinyal telkom. Jadi mereka tetap bisa melakukan komunikasi di manapun keduanya berada. Entah di laut, pulau terbengkalai, atau apapun asal masih ada langit. Mereka bisa terhubung satu sama lain.
“Tentu saja aku bisa rindu, Nona Nadhin. Itu terdengar seperti pemborosan,” ucap Oliver menghembuskan asap rokoknya, “ada baiknya kau punya walkie-talkie itu karena tak boros daya ataupun susah sinyal, aku membelinya dari pasar gelap, tidak usah khawatir akan pembicaraan kita bisa bocor karena itu tidak bisa terjadi.”
Bibir merah Oliver bekas merokok itu disambar sekilas oleh sang nona, meninggalkan senyum penuh arti. “Kau memang cerdas,” ujar Nadhin.
“Kembalilah dengan selamat, kalau tidak aku akan kembali pada pria tukang teler itu.”
Lagi-lagi Nadhin dibuat tertawa. “Ternyata kau juga bisa mencemaskan seorang wanita yang selalu keluar masuk penjara.” Oliver tertawa singkat, menyadari diri menghawatirkan Nadhin hanya karena firasat buruk yang melanda pikiran. “Aku pergi,” pamit Nadhin setelahnya ia pergi meninggalkan markas.
—
Nadhin benar-benar menikmati liburan itu, ia menari-nari, berkeliling dari satu kota hingga sampai ke suatu pulau. Cahaya cerah tak pernah pergi meninggalkan rupa. Sedangkan Oliver menanti-nanti kapan Nadhin akan datang menelepon dirinya. Tapi tepat hari itu ketika ia mendapat giliran pergi ke pasar umum tengah pedesaan demi membeli kebutuhan sandang dan pangan para anggota, ia dapat telepon.
“Nona cantik masuk.”
Suara itu menginterupsi kegiatan Oliver, berasal dari telepon satelit di genggamannya. “Nona cerdik menerima.”
Terdengar tawa singkat di ujung sana, “Asal kau tahu, aku ada di pulau, ternyata aku tidak butuh klub malam, bagaimana denganmu?”
“Ada apa gerangan? Bukannya kau masuk ke golongan sosialita? Aku sedang di pasar, membeli beberapa kebutuhan untuk markas.”
“Serius kau mendatangi keramaian? Bukannya kemarin bilang suka suasana yang sunyi?”
“Terpaksa, karena memang sudah jadwalnya.”
“Tak apa. Anggap kau sedang berlatih jadi ibu rumah tangga.” Nadhin kembali melemparkan tawa hingga ia terdiam. Membuat Oliver kebingungan, “Ada apa?”
“Tunggu, aku seperti melihat kapal? Kali ini beda dengan yang aku naiki kemarin,” ujar Nadhin sedikit gemetar karena perasaan takut.
“Apa maksudmu— ....”
“Sial! Ada polisi di sini Oliver, kau harus pergi.”
Komunikasi mereka terputus saat itu juga. Oliver maupun Nadhin segera lari dari tempat. Dalam hati, Oliver menyesal membeli telepon satelit itu tanpa mengecek dulu apakah aman sebelum digunakan, sedangkan Nadhin juga menyesali keputusannya karena berlibur ke sebuah pulau kecil.
Oliver melihat ke sudut kanan ada mobil polisi, lantas langkahnya mengarah ke sisi depan. De Javu, seperti yang ia lakukan sebelum bertemu Loren. Langkahnya gesit, tak peduli sekitar. Puluhan benda-benda jatuh ke tanah, namun itu memang taktiknya untuk menghambat proses pengejaran polisi. Oliver sengaja pergi ke tempat penuh dengan orang-orang dan jalan setapak yang sempit, agar dapat berkamuflase dan polisi tidak dapat mengeluarkan senjata.
DOR! DOR!
Ternyata salah, tembakan itu diarahkan ke atas, semua orang memekik kaget, tapi tidak dengan Oliver. Langkahnya masih menyusuri gang, meneliti bangunan yang bisa digunakan untuk bersembunyi. Dan ia menemukan bangunan bercat putih lusuh dengan pedagang buah di depannya. Oliver bergegas masuk, deru napas secepat kala mendengar langkah para polisi itu mendekat. Bisa mati konyol jika ia tertangkap.
Namun langkah itu berangsur hilang, mungkin ia berhasil bersembunyi. Lekas ia ingin kembali sambungkan telepon satelit itu pada saluran Nadhin, tapi ia keburu ingat, bisa jadi sinyal itu sudah ditangkap oleh para polisi sehingga mereka mengenali lokasi keduanya berada. Oliver cemas, berharap Nadhin baik-baik saja.
—
Di sisi lain, Nadhin kelimpungan memikirkan bagaimana caranya melarikan diri. Pulau ini kecil, polisi pasti menyisir ke semua tempat.
Dor!
Suara pistol memekakkan telinga Nadhin, beruntung ia bisa meleset dari target. Lekas ia berlari ke arah minimarket lokal dekat sana.
“Menyerah atau tembak di tempat Nona!” teriak salah satu polisi sambil melayangkan pistol.
Dor!
Nadhin berhenti sejenak, balik mengarahkan senjata ke arah polisi itu, namun meleset karena ia yang tak fokus.
Masa bodoh dengan perkataan itu.
Lalu Nadhin menyatu dengan kerumunan yang berada di pantai, mencari perlindungan. Pistol miliknya tidak bisa digunakan terus-menerus, ia bisa kehabisan amunisi dan tertangkap.
Ternyata polisi itu memiliki mata jeli, “Pranona Soergadhin, kau tidak bisa kemana-mana!”
DOR!
Nadhin kembali berlari, kali ini tak ada lagi taktik yang terpikirkan. Satu hal tersisa hanyalah pistol kecil miliknya, mau tak mau ia harus gunakan itu. Jikalau ia prediksi akan ada kejadian ini, ia memilih membawa shotgun atau terlebih bazoka supaya sekali tembak mereka langsung mati mampus.
Langkah Nadhin berujung pada bangunan tak terpakai, mau bersembunyi pun polisi terlalu dekat dengannya. Nadhin melayangkan peluru.
Dor! Dor!
Meleset. Polisi itu juga berseragam lengkap. Minim keberhasilannya kali ini.
Dor! Dor!
Tembakan polisi pun tidak berhasil mengenai Nadhin, telalu kecil untuk dilihat. Dua peluru lagi dan habis sudah hidupnya.
Dor! Dor!
Peluru itu mengenai perut sang polisi, namun dengan baju anti peluru yang digunakan, sia-sia usaha Nadhin. Polisi akhirnya memojokkan Nadhin, ia berserah diri. Karena tersudut dan tak memiliki kesempatan kabur lagi, ia pun mengangkat tangannya. Para polisi langsung mendorong kepalanya ke bawah, membuat Nadhin jatuh tersungkur di atas pasir pantai pulau tersebut. Pipi kanan yang tak menempel ditekan oleh sepatu boots pria polisi itu dan tangannya pun diborgol dengan kencang. Nadhin tak bisa lari lagi. Dengan begini, ia tak tahu kawan yang lain akan selamat atau tidak.
—
Oliver berjalan dengan mengendap-ngendap masuk ke dalam markas persembunyian tim sembari mengatur napas sehabis lari kepalang panik. Perempuan itu mendobrak pintu dengan keras, buat Jemish dan yang lainnya langsung tersentak kaget, mereka melihat Oliver sudah basah dipenuhi oleh keringat, terlihat berusaha jelaskan sesuatu. “Nadhin ditangkap polisi.”
“Gimana bisa, sih? Kalian ngapain?!” Roger adalah orang pertama yang tentu saja langsung merasa marah mendengar pernyataan keluar dari mulut Oliver.
“Gua sama Nadhin nggak ngapa-ngapain. Gua sendiri enggak tahu darimana polisi-polisi sialan itu datang dan berhasil ngelacak keberadaan gua sama Nadhin.”
“Bohong,” sahut Jemish sembari menghampiri Oliver. Pemuda itu menyilangkan kedua tangan di depan dada. “Kalian pasti ada aktifin sinyal yang bikin polisi berhasil nemuin keberadaan kalian, iya 'kan?” tanya Jemish dengan tatapan intimidasinya.
Oliver terdiam, memang dirinya hanya jujur kepada Loren bahwa ia memberikan Nadhin alat untuk berkomunikasi, sisanya tidak ada yang tahu. Perempuan itu menoleh ke arah Loren yang mengangkat bahunya dan menatap Oliver seolah-olah berkata, ‘Aku sudah memperingatkanmu dari awal.’
“Terus kalau udah begini mau gimana? Kita juga nggak bisa diam aja selama Nadhin masih di luar sana,” kata Ella.
“Lalu biarin kita semua tertangkap? Don't be a stupid, please,” sahut Ian dengan keras.
“Ya justru kalau kita diam aja di sini, Nadhin bisa bocorin di mana keberadaan kita. Don't be a stupid, please.” Ella membalas sahutan Ian dengan nada yang sama.
Amon yang sedari tadi fokus mengasah pisau langsung menoleh ke arah teman-temannya. “Ya mau enggak mau kita harus bikin rencana buat nyelametin Nadhin,” ucapnya santai.
“RENCANA APALAGI? RENCANA SAMPAH YANG BIKIN KITA SEMUA KETANGKEP?!” Ian lagi-lagi berteriak sembari maju menghampiri Amon. Kaz yang berada di samping Amon langsung menengahi, menahan tubuh Ian dan mendorong pemuda itu dengan pelan. “Santai, Ian. Keep calm.”
Ian mengatur napasnya yang menggebu-gebu, pemuda itu menarik napas pelan-pelan lalu menghembuskannya juga secara perlahan. “Oke, kita bikin rencana. Tapi kalau sampai kita ketangkep, gue nggak akan ikut komplotan sampah ini lagi,” ujarnya lalu pergi dari sana.
Ada Amon yang terkekeh mendengar ucapan Ian. “Ya kalau kita ketangkap, otomatis komplotan ini bubarlah, dasar bodoh.”
Kaz yang mendengar itu ikutan terkekeh, gadis itu memukul lengan Amon pelan. “Memang, orang emosi tuh bakalan kelihatan bodohnya.”
Loren mendengar obrolan itu hanya tersenyum, ia maju mendekati Oliver yang terlihat murung. “Mungkin kamu nggak tahu, aku yakin Nadhin nggak akan ngebocorin semua rencana kita.”
Oliver mendongak. “Kenapa bisa seyakin itu?”
Semua tim pun menolehkan kepala cepat dan menatap Loren dengan raut wajah serius. Ia pun menjelaskan. “Aku yakin karena pasti di antara kalian semua pernah ngerasain hidup di penjara 'kan? Yang pasti, Nadhin akan disiksa habis-habisan supaya mereka dapat informasi yang mereka mau. Nadhin nggak akan beritahu semuanya soal kita, bahkan satu kata pun. Dia percaya kita bakal datang buat selamatkan dia jadi mungkin nalurinya sebagai manusia adalah menunggu kapan waktu penyelamatan datang.”
Semua orang mengangguk lalu atas perintah Loren yang meminta semuanya untuk segera pergi ke ruang pelatihan, karena Loren butuh waktu sebentar bersama Oliver. Hingga tersisa Loren dan Oliver saja yang berada di ruang tengah. Ketika dirasa keadaan sudah sepi, Loren langsung menoleh ke arah Oliver dengan raut wajah serius. “Aku siap dengar semuanya.”
Oliver menceritakan bagaimana cara ia dapat telepon satelit itu. Didapatnya dari pasar gelap, seseorang memberikan dengan harga terjangkau. Oliver tertarik, jadi ia membeli itu dua buah. Namun Oliver yakin sekali, selama ia menelepon Nadhin, penjual dari pasar gelap sudah memberitahu polisi bahwa ternyata yang membeli barang miliknya adalah buronan paling dicari polisi di seluruh dunia. Mungkin ia merekam jejak kemana telepon itu dibawa sehingga dapat dipastikan polisi bisa menemukan titik koordinat geografis di mana bisa menemukan keduanya. Oliver sendiri juga berani bertaruh bahwa ia yakin penjual itu melaporkan soal ini pada polisi demi mendapat imbalan berupa uang atau mungkin berlian.
—
Di lain tempat ada Nadhin yang mengerang kesakitan karena mendapat pukulan dari beberapa oknum polisi. Nadhin dipaksa untuk memberi tahu dimana keberadaan teman-temannya. Demi apapun, walaupun tubuhnya sudah menanggung rasa sakit yang amat sangat, Nadhin tidak akan membuka mulutnya untuk sekedar berbicara.
Di hadapannya kini ada seorang inspektur wanita yang sedang asik memakan sebuah kentang, seolah ingin menggoda Nadhin yang sudah tidak makan selama beberapa hari ini. Nadhin mendecih sinis, jika saja tangannya tidak dirantai, mungkin inspektur itu kini sudah habis di tangannya.
Inspektur itu membuang ampas makanannya di hadapan Nadhin, lalu menginjaknya saat itu juga. Membuat Nadhin langsung mengumpat dalam hati. Di luar sana masih banyak orang yang membutuhkan makanan, tetapi keparat sialan ini malah membuang-buang makanan, semoga Tuhan membalas perbuatanmu si keparat ini, umpatnya dalam hati.
“Sampai kapan mau diam membisu seperti ini, Nona? Sampai seluruh organ tubuhmu berhenti berfungsi?” Rambut Nadhin ditarik ke belakang, lalu Inspektur itu menodongkan sebuah alat setrum yang buat Nadhin langsung berteriak kesakitan karena merasakan sakit yang luar biasa. Dalam sekejap saja, Nadhin sudah ambruk ke tanah dengan kesadaran yang hampir menghilang.
Suara tawa terdengar dari mulut kecilnya, melihat Nadhin yang sudah terbaring tak berdaya dengan luka di sekujur tubuhnya. Inspektur itu memakai masker pelindung dan menaruh sebuah benda yang mengeluarkan asap hitam. “Saya akan menunggu kamu sampai kamu angkat bicara dan memberitahu dimana tempat teman-teman sampahmu bersembunyi. Selamat menikmati asap mematikan ini, Nona.”
Nadhin tidak bergeming, karena perempuan itu kini sedang melihat ke langit-langit ruangan. Nadhin merasa, bahwa sebentar lagi ia akan melihat surga dan bertemu dengan ayahnya. Nadhin pasrah dan ikhlas jika memang harus mati kelaparan disini. Karena rasanya, berteriak meminta tolong saja rasanya sudah tidak sanggup. Lagipula, siapa mau menolongnya di saat situasi seperti ini? Nadhin bukan utusan Tuhan yang bisa mengharapkan mukjizat.
“Ayah, sepertinya sebentar lagi kita akan bertemu. Ona rindu ayah.” Lalu pada akhirnya tetap kegelapan berhasil menguasai Nadhin.
—
Hari H perampokan, 07.18 AM
Semua yang telah para tim rencanakan sedang dimulai sekarang. Dan sekilas Amon tengah membayangkan orang-orang tak bersalah, yang perjalanan hidupnya terpaksa akan dihentikan.
Loren tahu bahwa hanya ada satu cara untuk masuk ke Gedung Badan Percetakan Uang Amerika. Caranya harus dengan truk tronton yang masuk ke gedung setiap seminggu sekali bersama gulungan kertas baru yang siap untuk dicetak sebagai uang. Jadi Amon berperan penting melancarkan tugas ini demi membajak mobil kontainer. Dan tepat paginya, rencana pun mereka lakukan, mereka akan masuk ke truk tersebut yang dikawal oleh polisi negara.
Di tiap negara, pasti segala sesuatu yang dikawal dua mobil polisi sekaligus merupakan sesuatu yang sangat dilindungi. Maka supaya rencana berhasil mulus. Ella turun dari mobil, menutup jalan menuju ke gedung pencetakan menggunakan papan pengalihan rute mereka.
Sampai ketika para polisi menyadari bahwa mereka baru sadar jalan yang dilewati salah dan tak mafhum mengenai kerusakan jalan di rute sebelah, mereka jadi dikejutkan oleh para anggota komplotan di mana muncul secara tiba-tiba sembari menodongkan senjata ke tiap-tiap supir mobil beserta truk tronton.
“Keluar dari mobil, keparat!” Amon mendorong semua supir keluar hingga digiring menuju Ian yang berada di belakang truk tronton.
Oliver terkekeh melihatnya. “Dasar penakut.”
Keberanian dan kepahlawanan ada harganya, dan harganya lebih dari 5000 dolar per-bulan. Ian pun mendorong dua supir truk tronton ke belakang tempat di mana pintu mobil kontainer terkunci oleh rantai serta gembok. “Lakukan apa yang kuperintahkan!” Ian pun masih ancam dengan menodongkan senjatanya. “Buka truknya, kau dengar?” Didoronglah kepala dari si supir truk maju ke depan. “Cepat buka!” Dan dibukakan pintu tersebut oleh mereka.
Ella bersiap dengan menyiapkan lakban hitam. Oliver juga sudah memborgol kedua tangan dari tiga supir mobil polisi. Mereka dipaksa masuk ke dalam kontainer truk itu dan barulah Ella menempelkan lakban hitam demi bungkam mulutnya mereka. Jika anak perempuan para polisi itu disimpan dalam truk seperti sang ayah, mereka tak akan pernah membukanya, tapi siapa yang peduli dengan gulungan kertas uang bertanda?
Ella berceletuk. “Ayo duduk. Sekarang kalian bertiga tenang, kalau tidak akan kutembak.” Sambil menunjukkan senapan di tangan kanan.
Di tengah-tengah kegaduhan senjata saling menabrak, Ella jadi ingat di malam sebelum dirinya tengah dilamar untuk bergabung ke rencana ini, bahwa seharusnya Ella memilih tujuan lain. Tapi kalau dipikir-pikir, Ella tak'kan pernah temukan manfaat dari pencurian besar.
Ian menghampiri salah satu polisi bersama dua supir truk tronton yang sedari tadi ditodongkan senapan oleh Oliver. “Kalian harus mengemudi dengan senjata di perut.” Lagi-lagi mereka digiring menghampiri mobil dan truk besar sembari Ian terus melontarkan ancaman-ancaman kecil. “Bila ada panggilan radio yang tanyakan keadaan, kalian harus jawab dengan tenang, seolah semua berjalan lancar. Jelas?” Ketiganya mengangguk patuh dan Ian ikut masuk ke dalam mobil polisi lengkap dengan seragamnya yang sudah bertukar oleh salah satu dari mereka. Ella bersama Oliver putuskan naik ke mobil berbeda untuk masuk ke gedung melewati pintu depan. Lalu Amon jua Jemish, di dalam truk tronton mengawasi supir-supir.
Tetapi mereka tidak ada salahnya juga merasa takut, bila seseorang memutuskan semua komunikasi radio atau telepon dan tim perampokan dengan lima senapan yang serbu menodong kepala, meskipun mereka sama-sama memiliki senjata, mereka akan merasa takut seperti layaknya anggota tim.
Ian yang sudah berada di mobilnya menoleh kepada dua wanita di mobil mewah berwarna merah. “Sekarang kalian tahu apa yang harus dilakukan?”
Ella mengangguk. Oliver bersiap mengemudi bersama kacamata hitam singgah di wajah. “Tidak boleh ada kesalahan, oke?” Ian kembali memastikan. Ella balas, “Aku bisa tangani itu.”
—
Kedua mobil polisi dan truk tronton itu pun perlahan memasuki basemen tempat gedung Badan Percetakan Uang Amerika. Kaz merasa was-was dan mengawasi dari CCTV di luar gedung dengan penuh rasa khawatir, takut jikalau mereka ketahuan staf kantor di sana.
“Hati-hati melakukan tindakan.” Ian berbisik di telinga salah satu polisi sebelum penjaga gerbang menangkap bahwa wajah Ian nampak asing di netranya.
“Hei, Bara.” Ia menoleh ke arah Ian. “Di mana Andi?” kembali tolehkan sirah ke Bara. Lalu dijawab dengan tenang. “Pergantian shift.” Ian langsung berpura-pura batuk. Membuat penjaga menatapinya intens. Setelah dikonfirmasi bahwa mereka dibolehkan masuk. Ian memandang Bara sambil tersenyum manis. “Bagus sekali. Tetaplah tenang.” Dijawabi anggukan kalimat tersebut.
Sedang di dalam truk tronton, Jemish berkutat bersama laptop di hadapannya, mencoba untuk meretas semua area pengaman milik gedung. “Ian, Ian, awas ada kamera pertama di samping kirimu.” Dan benar sekali ada kamera CCTV di dinding sebelah kiri, dengan cepat Ian pergi mengalihkan pandang ke arah kanan sembari menutupi sisi rupa satunya.
Butuh setidaknya 24 menit untuk Jemish bisa mengakses ke sistem pengaman. Sampai laptopnya menyala dan tertulis di sana bahwa alarm dimatikan. Ia berseru senang karena dengan ini, alarm tanda bahaya tak berbunyi.
Setelah sampai ke ujung basemen. Ian pun menyuruh polisi tadi membantunya agar dapat membuka truk tronton berisi kertas uang tadi, lalu Amon dan Jemish langsung bergegas keluar menghampiri polisi-polisi yang hampir kabur. “Diam, jangan bergerak atau kubunuh.”
Setelah kembali mengikat para polisi di tempat penyimpanan gulungan kertas, Ian, Amon, dan Jemish mulai naik ke lantai atas untuk berikan gertakan kepada seluruh staf yang bekerja di gedung tersebut. Keadaan jelas menjadi ricuh. Teriakan-teriakan mereka terdengar menggelar ke seluruh ruangan ketika terpaksa digiring agar berkumpul di aula tengah ruangan.
Di sisi lain, Ella dan Oliver sedang menyamar, tepat setelah Kaz berpamit bahwa mereka harus berhati-hati. Keduanya masuk sembari bawa tas berisi banyak senjata-senjata berbahaya. Tentu ada mesin pendeteksi barang tersebut, dan mereka ketahuan langsung saat bunyi berisik menyala mengagetkan semua staf. Ella jua Oliver pun cekatan mengambil senjata di dalam tas, mengarahkannya kepada mereka, “DIAM! PERGILAH KE AULA TENGAH!” Dan penjaga keamanan sana berbondong-bondong pergi menuju aula tengah.
Tidak butuh waktu selama sejam. Jemish pun selesai menutupi mata seluruh sandera, ia berjalan cepat menuju pintu utama pembuka di gedung Badan Percetakan Uang Amerika. Ia tutup sesudah menekan tombol dari dalam dekat dengan ruang resepsionis.
20 menit setelah masuk, para anggota tim dari golongan A mulai menyambungkan sistem komunikasi analog untuk berbicara dengan Loren dan Kaz karena sebelumnya mereka hanya komunikasi memakai earpiece. Dan dengan komunikasi analog inilah, tanpa telepon dan frekuensi radio, tiada sesiapapun yang bisa mendengarkan percakapan mereka.
Tim golongan A telah menyegel semua pintu dan alarm tak bisa berbunyi. Mereka betulan seperti terjebak dalam dilema waktu, tidak ada siapapun orang tahu, mereka t'lah mengambil alih gedung Badan Percetakan Uang Amerika.
—
Amon pergi ke toilet untuk menyambungkan komunikasi analog. Sedangkan Ella lagi-lagi bersama Oliver mendapatkan tugas untuk mengambil uang di brankas. Tentu mereka tidak mengetahui kata sandi agar dapat membuka brankas tersebut. Maka Oliver pemilik ide paling cemerlang, melancarkan operasi yaitu dengan melubangi besi pintu brankas menggunakan panas lelehan api.
Berhasil bekerja. Brankas dapat terbuka lebar. Oliver mengarahkan kepala masuk ke dalam seolah mengode Ella untuk segera masuk dan memindahkan selembaran uang pada tas.
“Rasanya aku ingin membangun tempat tidur dengan uang-uang ini. Oh, betapa harumnya.”
Ella memutar bola mata. “Kau akan lakukan hal itu nanti setelah kita selesai.”
—
Berbaris sejajar, tumpukan rupa penuh tekanan para sandera ketika diminta untuk berkumpul di aula tengah gedung. Dengan diawasi oleh dua pria berbaju merah serta topeng pemalsu paras juga senapan sebagai alat keamanan. Jemish menilik satu-persatu sandera dengan melontar tatapannya yang tajam sedangkan di samping ada Ian ikut mengontrol keadaan.
“Kumpulkan semua ponsel kalian.” Instruksi Jemish, serentak para sandera mengeluarkan ponsel-nya dari dalam saku lalu menaruhnya ke dalam kantong plastik hitam besar yang sudah Jemish siapkan. Diawasi ketat, memperhatikan pergerakan para sandera agar tak terjadi hal yang tidak diinginkan.
Sudah selesai dengan tugasnya, mereka berdua berjalan menuju ruangan rapat untuk menyimpan para ponsel sandera. Selagi mereka berdua melakukan pekerjaan itu, Amon baru saja kembali dari kamar mandi dan Ella bersama Oliver datang membawa dua tas besar berisi uang brankas, meletakkannya di tangga.
Tentu ketika mereka diberi kesempatan kerja berdua, Jemish langsung berjalan di samping Ian, “Nanti siapa yang akan membawa uangnya keluar?” dengan cepat Ian merespon, “Gua.” Cukup singkat, lalu Jemish melangkah lebih dekat hingga bersentuhan dengan lengan Ian, “Take care, you look beautiful today,” bisik Jemish tepat di samping telinga Ian, diakhiri dengan seringai jahil.
Masih di aula yang sama setelah mereka selesai menyimpan ponsel dengan menempelkannya berjejeran pada dinding. Para sandera tak diijinkan untuk berbicara bahkan membuat suara sekecil apapun itu. Ian melihat Jemish yang ada di sudut ruangan dengan tatapan penuh isyarat lalu mengangguk.
“Aku ingin kalian semua melepas baju dan berganti pakaian dengan rompi berwarna merah sama seperti yang kami kenakan."
Tanpa penolakan atau mungkin tak bisa menolak para sandera yang jumlahnya tak sedikit itu serentak mengganti pakaian mereka, sembari bergetar ketakutan karena tak memiliki waktu banyak mereka seakan terburu-buru. “JANGAN ADA SUARA!” teriak Jemish. Ian menyahut cepat. “Lu yang jangan teriak-teriak Jemi.”
—
BERSAMBUNG.
THIS IS SO COOL OMG
BalasHapusIni chapter isi nya semua ada dari sedih, seneng, marah, greget gila campur aduk beneran. Semangat Loka !
BalasHapus