SAYEMBARA KILATAN WAKTU.
INI SEBUAH SAYEMBARA. Siapapun lebih cepat dari kilatan petir dari detik milik waktu. Mereka akan memenangkan pertandingan. Lalu yang kalah? Akan mendapat cela. Kamu siap ikut berlomba-lomba kepada rakyat kota yang sibuk mencari keadilan? SIAPKAN BAJU TEMPUR!
—
Hari H perampokan, 09.54 AM
Pasukan dari golongan B terkejut oleh semua orang yang menghina mereka. Tetapi tidak dengan Roger dan Loren. Mereka sudah memprediksi hal ini akan datang bahkan jauh dari sebelum pekerjaan merampok besar-besaran dimulai. Dan begitulah, di sepanjang mobil tempur melewati jalanan menuju ke gedung bank. Banyak sekali masyarakat melakukan demonstrasi, aksi mereka pun dilemparkan langsung kepada pasukan golongan B yang sedang menyamar menjadi kelompok militer. Beberapa juga kompak memakai rompi merah dan topeng ciri khas komplotan perampokan sama persis dengan milik Loren semasa terpampang di layar-layar besar ke seluruh kota.
Lainnya, mereka bersorak. Adapun jenis pendemo kreatif dengan membawa beberapa papan kayu atau kertas HVS putih ukuran A4. Menuliskan kata-kata buruk di sana, Loren dapat menangkap sejenis; CUKUP, BERHENTI, PENGKHIANAT, TEGAKKAN KEADILAN, dan lain sebagainya. Roger berpikir ingin keluar dari jendela mobil tempur militer dan ikut berteriak, ‘Gua Roger, salah satu dari kalian juga.’ Tetapi itu akan buat penyamaran mereka terbongkar, sudah pasti. Bahkan uang-uang berserakan di bawah injakan kaki mereka seperti tiada harganya lagi.
Kini topeng mereka menjadi simbol perlawanan di seluruh dunia. Bagi mereka yang geram, atau skeptis, sama saja. Tak penting. Lagipula mirip fungsinya; untuk menginspirasi rakyat agar ikut berjuang. Mereka para pemrotes menjadi salah satu dari bagian komplotan juga. Meski berdemo dengan tujuan berbeda selayaknya menentang korupsi, meminta hak wanita agar sepadan, bahkan protesan besar di stadion sepak bola. Mereka semua tetap sama. Jangan lupakan itu.
Di sanalah mereka hadir. Ketika Loren memakai topeng, jua tiga anggota komplotannya, seolah memanggil pasukan dari rakyat lain keluar agar didukung, dan mereka berikan respon. Dan Loren seratus persen yakin, mereka sepakat berdemo depan bank dengan berkomunikasi di media sosial. Meneriakkan sesuatu yang harus komplotan perampokan dengar: “Kamu tak'kan berjalan sendiri.” Tapi itu semua belum terbukti. Aksi sebenarnya akan dimulai sebentar lagi.
Pasukan golongan B mulai turun dari mobil tempur militer tersebut. Bergegas keluar lalu melajukan langkah cepat menuju bank. Loren bersama tiga rekan tambahan lainnya pergi menghadap Letnan Amil untuk melapor. Sedangkan Roger dengan salah satu rekan kerja Amon, Dominic, pergi ke barisan prajurit sipil yang tengah menenangkan aksi saling dorong-mendorong keluar para khalayak massa berusaha menabrak pembatas jalan. Bahkan Roger ikut berteriak. “Ayo mundurlah! Semuanya! Mari coba tetap tenang.”
Selagi Roger sibuk menenangkan kekacauan massa. Loren cepat-cepat menghampiri Letnan Amil agar mengijinkannya masuk ke dalam bank. Dari sini, Kaz bisa memantau mereka dari rekaman CCTV jalan. Selagi memerhatikan, ia mendapati bahwa konvoi asli sedang dalam perjalanan menuju bank. Ternyata komplotan perampokan bersiap-siap lebih cepat sedari tadi. Sehingga mereka bisa datang mendahului militer pertahanan kepercayaan Kolonel Ishwar.
Jika diperkirakan, jaraknya 8 kilometer dari posisi kedatangan konvoi asli itu. Menurut perhitungan Kaz, hanya butuh enam menit bagi mereka untuk sampai ke gedung bank. Jadi Loren dan tim harus selesaikan tugas dalam enam menit agar mencapai keberhasilan. Kaz tetiba berpikir setuju atas rencana Loren semasa mereka menjelaskan terperinci rencana mengenai hal ini. Mungkin jikalau kedatangan mereka sebagai pencuri, tidak akan bisa melewati 20 petugas keamanan swasta, beberapa pasukan penjaga sipil, dan pengawal pemerintah. Tempat bank ini penting secara strategis. Namun penyamaran yang mereka gunakan sebagai militer kepercayaan negara, pasukan mereka disambut dengan hangat.
Loren pun sampai ke hadapan Letnan Amil. Ia benar-benar melepas helm pelindung khusus militer sehingga nampak rambut panjangnya berterbangan hampir menutupi wajah selama berlari kecil. Ia memberikan hormat sebagai sapaan. “Selamat pagi, Kapten Penjaga, kami Pasukan Pertama, Kompi Keenam BRIPAC.”
Dibalasnya juga dengan hormat. “Letnan Amil.” Keduanya pun selesai atas penghormatan itu.
Loren lanjutkan kalimat. “Kami diperintahkan untuk menjaga gedung. Aku ingin semua orang ini keluar.” Ia berucap sembari melemparkan pandangan ke seluruh penjuru. “Kita perlu memperluas pagar keamanan sepanjang 150 meter dari bagian depan bank. Buka juga pintu belakang, ada konvoi kami di perjalanan.”
Letnan Amil memberikan tatapan datar. “Kami disuruh berkoordinasi, tapi tak boleh izinkan masuk konvoi.” Mendengar hal itu, salah satu rekan Loren membalas cepat. “Maaf Senior, konvoi kami sebentar lagi mendekat.” Letnan Amil pun menyahut cepat. “Aku tidak boleh setujui perintah itu.” Masih tidak mendapatkan perijinan, Kaz frustasi karena waktu mereka tidaklah banyak. Tepat kurang dari 2 menit, konvoi mereka sampai dan dihentikan oleh 2 penjaga sipil. Kembali rekan Loren meminta ijin, “Senior, aku minta izin masuk segera.” Ia masih tak bergeming. Letnan Amil pun coba menghubungi markas besar militer memakai radio, Kaz yang tahu bahwa mereka butuh bantuan langsung terburu-buru menyiapkan alat pengubah suara supaya dapat berbicara kepada penjaga sipil tersebut. “Markas besar. Ini Letnan Amil, unit Penjaga Sipil. Aku ingin meminta konfirmasi akses untuk pasukan dari BRIPAC masuk ke Bank Amerika.” Kaz bersiap mengeluarkan suara sambil menggumamkan doa dalam batin. “Ini Letnan Kolonel Castro. Peringatan Level 5 telah diumumkan. Aku ulangi, Level 5. Mulai sekarang, militer akan mengurus pertahanan di dalam Bank dan luar bagian pagar sebagai barikade keamanan. Mulai berkoordinasi dan ikuti perintah Kapten Penjaga Sipil, Letnan Amil, sampai Kolonel tiba, mengerti?” Kaz memandangi CCTV was-was setelah selesaikan perintah palsunya. Alat pengubah suara pun sukses mengubah suara Kaz menjadi berat khas pria dan tersamarkan pula. Letnan Amil serasa bersalah, ia jawabi penuh hormat tugas tadi lalu menghela napas berat. Loren memberikan penghormatan terakhir sedangkan Kaz di ruangan terbuka mencoba lega atas perasaan cemas berlebih.
Penjaga sipil membukakan pintu pagar untuk memberikan jalan bagi pasukan Loren. Hingga Letnan Amil selesai membalas penghormatan itu, ia keluar dari barisan dan menyuruh penjaga sipil lain agar memperluas barikade keamanan. Roger juga mendapatkan perintah tersebut, maka ia mendorong mundur para masyarakat supaya menjauh dari gedung.
Loren dengan raut wajah serius berbalik dekati presensi Letnan Amil, “Amankan area sampai pasukan tiba. Siapkan juga gas air mata!” Hal itu juga disetujui oleh Letnan Amil. Maka penjaga sipil langsung menjalankan perintah tersebut. Loren dan ketiga rekan pun masuk ke bank menggunakan langkah kaki-kaki besar. Ia bersiap-siap melancarkan rencana AIKIDO.
AIKIDO adalah tak-tik yang mengedepankan ‘semangat’ dan ‘jalur’. Rencana ini dibuat untuk gunakan kekuatan musuh sebagai keuntungan. Menurut Loren, anggota komplotan mereka tak bisa membobol Bank Amerika sendiri, karena kekuatan musuh lebih besar. Jadi diterapkan rencana Ai-ki-do ini. Lebih rincinya, apa yang mereka tak dapat lakukan akan dilaksanakan oleh penjaga sipil, polisi militer negara, dan keamanan swasta bank. Mereka akan pastikan tak ada kerumunan massa mendekati gedung dari jarak minimal 150 meter menjauhi gedung.
Tim golongan B akan cari tahu jumlah tepatnya sandera di dalam gedung. Maka Loren pun mendatangi resepsionis. “Berapa banyak orang di dalam?” Staf keamanan akan menjawab dengan berikan angkanya. “Ada 367 orang.”
Loren pun melirik ke sekeliling. “Aku ingin semua 367 orang berkumpul di sini dalam tiga menit.” Dan disetujui oleh staf keamanan bank.
Hari akan semakin terik, saatnya bagi Roger dan rekan kerjanya memasang peledak di bagian tiang penyangga depan dan jendela waktu siang hari, supaya tak terlihat berkat asap dari gas air mata yang diciptakan dari Penjaga Sipil t'lah dilemparkan ke massa. Hal tersebut menciptakan kericuhan karena mereka tak dapat memfokuskan arah pandang. Roger memandang rekannya dan memberi anggukan sebagai kode bahwa itulah waktu Roger pasang peledak, persis sehabis penjaga sipil benar-benar lemparkan gas air mata ke massa.
Loren masuk lebih dalam ke area bank. Lalu memberikan perintah. “Protokol evakuasi. Aku ingin semuanya ke aula! Lakukan secara teratur.” Mereka berniat bawa klien beserta karyawan keluar untuk mengikuti protokol ketat, penjaga sipil dan staf keamanan akan menyusuri gedung, dari ruangan hingga sisi kantor, lalu mengevakuasi semua orang kurang dari tiga menit berkumpul menuju ke aula.
Pasukan musuh bantu mereka memasukkan tas berisi bahan-bahan keperluan perampokan. Melihat itu semua ia tersenyum dan menaiki tangga tinggi demi mengambil perhatian staf. “Tolong, aku ingin kalian tenang. Evakuasinya dibagi jadi dua kelompok. Kelompok 1 dan 2.”
Kemungkinan yang terjadi setelahnya adalah pasukan musuh akan kawal sandera keluar dan pergi bersama untuk singkirkan masalah. Lalu saat semua orang sudah di tempat, mereka tim golongan B hanya perlu tekan tombol peledak.
“Kelompok 1, keluar sekarang!” Mereka pun diberi kesempatan agar keluar dari bank. Sesuai rencana, penjaga sipil keluar mencoba tuntun mereka ke tempat aman. Maka sudah waktunya, Roger bersama rekannya tadi masuk ke dalam bank. Ia juga memberi kode pada si rekan dengan anggukan, bahwa peledak harus segera diaktifkan.
BUM! DUM! BAM!
Dalam lima detik, peledak tersebut sukses memicu alarm keamanan dari pintu bank untuk menyala, sehingga pintu bank pun otomatis tertutup dan tak akan bisa dibuka kembali kecuali dari dalam atau menggunakan sistem suara di mana itu datang sebagai fasilitas khusus pemerintah. Itulah tujuan peledaknya dipasang. Mereka bertingkah seolah-olah bank sedang diserang teroris, padahal mereka sendirilah terorisnya.
Hal tersebut berhasil mengejutkan penjaga sipil. Bahkan Kaz sendiri. Ia menghela napas panjang lalu meratapi nasib. Tak ada lagi jalan untuk kembali selain menyelesaikan tugasnya.
—
Loren berhasil memindahkan sandera kecuali kelompok 2 yang belum berhasil dievakuasi, atau lebih tepatnya terpaksa harus tinggal di bank sampai kondisi aman, mereka berada pada aula kecil di mana sebelumnya dekat dengan bilik-bilik tempat staf selenggarakan rapat. “Kalian aman di sini. Tak perlu khawatir di antara penulis dan penyair. Tetap tenang. Angkat tanganlah, kalian, seperti perampokan.” Loren memeragakan gestur mengangkat tangan seolah mereka benar-benar sedang ditangkap oleh penjahat.
Dirasa cukup, Loren menurunkan tangan. “Tuan dan Nyonya sekalian, namaku yaitu Loren. Aku punya dua berita untuk kalian. Satu baik, satu buruk. Kabar buruknya, Bank Amerika diserang. Kabar baiknya— ...,” ucap Loren dipotong selagi ia membuka rompi militer, “... —kami itulah penyerangnya, hehe.” Loren angkat tangannya dengan gembira, saat itu ia masih mengenakan rompi merahnya. Didalami oleh jas hitam-putih persis pengantin pria di suatu pernikahan. Tapi aksinya tadi berhasil membuat para sandera menjerit ketakutan dan mencoba berlari keluar aula, tentu respon mereka dihentikan Roger. Ia sama lengkapnya, topeng khas beserta rompi merah dan senjata di kedua hasta. “Tetaplah tenang! Tolong, tenanglah! Semuanya, tenang!”
Ketika kondisi mulai kondusif. Loren perlahan berjalan turun dari tangga. “Kini kalian menjadi keluarga sandera kami. Kita akan menikmati beberapa hari dengan ketidaksambungan. Ambil penutup matanya dan tolong pakai.” Ia berkata sembari Roger dan rekan mereka yang lain membagikan barang tersebut. Mereka masih terdiam sehingga memaksa Loren untuk berteriak menyuruh sandera pakai penutup matanya. “Kubilang pakai!”
Loren pun sampai di lantai dasar. “Agar tak ada yang merasa bahwa kalian ingin menjadi pahlawan, maka serahkan ponsel kalian pada temanku, Roger.” Tepat saat itu Roger melepas topeng ala komplotan merampok mereka dan memandangi sandera yang ketakutan sambil menangis.
“A friend?” Roger menoleh ke kanan tempat Loren berdiri. “Nggak bercanda?” Yang tengah ditatap kesal merasa bingung. “Apa salahku?” Loren jadi gemas sendiri menghadapi Roger.
Ia merajuk, jelas. “Roger, kita lagi kerja.” Hanya dibalas dengan anggukan kepala. “Tahu kok.”
“Ya, lalu?” Loren semakin bingung dengannya.
Roger seluruhnya memutar tubuh ke arah Loren. “Oh, ayolah, hanya ada kita berdua di tim. Apa harus dirahasiakan juga?”
Kali ini Loren sedikit kaget. “Dengar, ya, meski kita sekarang kerja cuma berdua. Jangan lupa kalau masih ada rekan-rekan lain, terus para sandera, aku tetap tidak ingin semua itu bocor. Maafkan aku.” Jikalau dipikir-pikir, Loren sendiri tersiksa selepas membuat peraturan yang ternyata bikin ia menyesal sendiri.
Roger hanya diam sambil mencoba untuk tidak terlalu memikirkan hal itu. Dan Loren bergerak mengambil kantong plastik hitam besar, menjadikannya wadah penyimpanan ponsel milik para sandera. Selepas itu mereka kembali bekerja, dibantu rekan lain dalam mengawasi.
Tiap-tiap sandera dimintai PIN pada tiap ponsel mereka oleh Roger dan akan dicatat pada buku Loren. Ada yang menarik tawa ketika mereka sampai di hadapan sandera ke-15 barisan depan. “Pin?”
Masih dengan mata tertutup masker, sandera itu melontarkan tanya. “Untuk apa kau butuh pin sandi ponselku?”
Loren hanya memandangi ia skeptis dan Roger tidak membalasnya. “Pin?” Mengulang tanya.
“1234.” Ia menjawab dan berhasil mengundang tawa Loren juga Roger. “Maaf tetapi angka di Pin-mu itu sungguh murahan,” balas Roger.
Loren masih tertawa kecil. “Siapa namamu?”
Ia menunduk selagi menjawab. “Salva.”
“Baik, Salva, apa kau suka menonton film?”
Salva menatap Loren dengan pandangan aneh, di balik penutup mata, ia mengangguk sambil tangan gemetaran. “Aku sering menonton film.”
Loren tersenyum manis. Sejenak memandangi Roger kemudian balik tatap Salva. “Kau tahu? Tokoh yang lemah di suatu film selalu berakhir mati, mungkin kau bisa saja seperti itu.” Loren pun berpindah ke sandera lain sembari Roger mengekor di belakang, selesaikan pekerjaan mereka.
—
“Ambil senjata gue dan bersiap untuk keluar. Setelah kalian siap, kita aktifin alarmnya.” Ian memberi perintah selagi memimpin serangan yang diberikan mereka kali ini. Meskipun tiada seorang pun tahu bahwa gedung Badan Percetakan Uang Amerika tengah diambil alih, namun polisi merasa aneh mengapa gedung tersebut ditutup. Dan ternyata si resepsionis sudah mengirimkan sinyal meminta tolong atas penyerangan mereka, karena polisi sibuk akan serangan dari Bank Amerika, mereka kurang fokus pada perampokan di gedung percetakan.
Penungguan itu tidak sia-sia, telepon akhirnya menerima sinyal permintaan tolong tersebut. Dan mereka akan mencoba memeriksa kondisi serta keadaan gedung di sekitaran untuk pergi memastikan, maka hanya dikirim 1 mobil polisi dan dua orang bertugas untuk hal ini.
Kaz yang tengah berusaha menyelesaikan sarapan paginya terganggu akan pergerakan mobil polisi di jalanan menuju gedung percetakan. Demi membantu rencana rekan kerja sendiri, ia tinggalkan sebentar sandwich beserta spaghetti ditemani minuman cola segar itu supaya rencana selanjutnya berhasil. “Amon, bersiaplah untuk membuka pintu.”
Amon yang mendengar titah tersebut. Pergi mendekati pintu utama depan gedung lalu menyuruh para sandera. “Dengar semua tawanan, demi keamanan kalian, aku mohon semua mundur tiga langkah!” teriaknya.
Ian beserta Jemish turun dari tangga sembari masing-masing membawa tas besar berisi uang di tangan kiri, sedangkan hasta sebelah memegang kencang senapan sebagai tanda pertahanan mereka. Lalu Ella juga Oliver t'lah mengikuti dari belakang mereka.
Ketika mereka berempat berbaris rapi. Amon langsung menekan tombol pembuka pintu utama. Alarm berbunyi memekakkan telinga.
Suara seorang wanita keluar ketika Kaz coba menyadap telepon mereka supaya dengar perbincangan. “Ada 10-33 orang di gedung Badan Percetakan Uang Amerika. Z24 sedang dalam perjalanan. Kami akan tiba dalam dua menit.” Kaz sigap melaporkannya pada Amon. “Dua menit lagi.” Amon juga mengumumkan waktu tersebut kepada rekan-rekan tim.
“Satu menit, empat puluh detik.”
Amon ulangi perkataanya. “Satu menit— ....” Ia berhenti setelah melihat bahwa satu tawanan mengintip pekerjaan mereka. Amon mencoba mendatangi dia, sandera tersebut cepat-cepat menurunkan lagi penutup mata. “Namamu?”
Dijawab terbata-bata. “Martiaz.”
“Martiaz, ya?” Amon pun menarik penutup mata milik Martiaz, direspon cepat olehnya dengan merengek ketakutan dan berteriak, “Iya. Tolong aku belum melihat apa-apa!” teriaknya menyebabkan para tawanan lain panik secara bersamaan. Martiaz menunduk takut sembari menutupi mata dengan kedua telapak tangannya. “Aku bersumpah!”
“Lihat aku.”
“Aku belum melihat apa-apa, ampunilah aku.”
“Martiaz, ayo, lihat aku. Lihat aku.” Amon menenangkan Martiaz, mencoba mengangkat kepalanya dengan menggenggam leher lalu tarik dia ke atas. Ia lakukan perlahan hingga berhasil. Martiaz nampak menangis kecil. Dan ia menjauhkan tangan sedikit dari mata.
Amon kembali memasangkan penutup mata milik Martiaz. “Jangan lakukan sebaliknya perintah kami. Percayalah, jika kau lakukan sebaliknya, kau bisa mati seperti di film-film.” Dan Martiaz sesenggukan karena ancaman Amon terdengar menyeramkan untuk dicerna.
Amon lalu berbalik menghadap pintu kembali dan mengumumkan waktu yang sudah Kaz beritahu. “Tiga puluh detik.”
Kegiatan ini disebut ke dalam Rencana Bastille, mengandalkan perhitungan waktu dan cekatan suatu pergerakan tim. Hal penting lain dalam rencana adalah polisi harus tidak tahu sedikit pun mengenai kegiatan yang dilakukan tim perampokan. Anggota golongan A akan buat polisi percaya bahwa mereka datang untuk merampok uang dari brankas lalu pergi keluar, padahal tidak. Kedatangan polisi buat para perampok terkejut sehingga harus tinggalkan uangnya di depan, lalu semua jadi kacau, tim terpaksa mengeluarkan senjata, tembak dari jarak dekat dan perampok tidak punya pilihan lain kecuali masuk lagi. Dan begitulah, tanpa ada satupun yang terluka, perampok masuk ke dalam gedung. Membiarkan para polisi beranggapan, bahwa mereka sengaja berpura-pura terperangkap selayaknya tikus. Biar polisi pikir, mereka sedang berimprovisasi.
Tepat saat suara sirine mobil polisi terdengar, Jemish langsung mengenakan topeng untuk menutupi seluruh rupa. Sedangkan yang lain masih berdiri tenang dengan gestur bersiap diri. Jemish memimpin barisan, ia berada dua langkah lebih maju di depan Ian. Ketika waktu masih tersisa delapan detik lagi agar rencana ini berhasil, Jemish salah menghitung detik.
Dengan dada berguncang hebat dan tak henti menghela napas kasar. Ia melangkah dengan hentakan kaki keras sembari bawa satu tas besar, mulai keluar dari gedung. “Sekarang!”
Ian yang melihat Jemish keluar padahal belum waktunya mencoba untuk menghentikan. “Wait! Jemish! Jemish, tunggu, belum saatnya!” Ian berusaha mengejar langkah besar pria yang lebih tua darinya itu sembari membawa satu tas besar lainnya, tapi Jemish benar-benar tak menggubris panggilan Ian. “JEMISH!” Dan mau tak mau, ia segera menggunakan topeng lalu menyusul Jemish keluar gedung. Sedangkan Ella dan Oliver lempar pandang kebingungan.
Jemish menuruni tiga anak buah tangga. Ian menyusul di belakang. Tugas mereka keluar, lalu lempar uangnya, tembak ke tanah dan masuk kembali. Terdengar sederhana. Jemish pun mulai menembak ke tanah, tapi apabila dilihat dari jarak jauh, Jemish seperti berusaha menembak polisi. Dua petugas masih berada di dalam mobil ketika Jemish melayangkan tembakan. Kedatangan peluru tiba-tiba betulan membuat dua petugas terkaget-kaget. Bahkan para sandera ikut berteriak ketakutan dengar tembakan yang berasal dari senjata Jemish juga Ian.
Ella bersama Oliver terjebak di ujung pintu. Mereka tercengang dan bingung harus ikut menyusul keluar atau tunggu sampai arahan kembali diterima. Mereka semua mendengar sampai 31 kali rencana ini. Karena polisi tak ingin celaka, ia mencoba balas tembakannya, tanpa sengaja melukai pelipis Jemish hingga berdarah. Ian terkejut, merasa ada yang tidak disebutkan Loren, adalah bahwa polisi juga akan menembak mereka dari jarak dekat.
Ian melihat Jemish jatuh tergeletak begitu saja di sana, menilik ke bawah lalu berjongkok dan memeriksa keadaan Jemish, masih terdiam hampir tiada pergerakan sama sekali, emosi Ian jadi bangkit lalu menyerang polisi secara membabi-buta. Ian bela penyudutan mereka dengan balas menembaki mobil polisi, namun tak jua buat mereka berhenti menyerang. Ada beberapa detik ia kembali melihat Jemish, ia belum jua bangun dari posisi jatuh terlentang, pikir Ian dia pingsan dan Ella serta Oliver merasa keadaan makin rumit, mereka sudah gagal dalam rencana ini. Maka mereka pun memutuskan ikut keluar, membantu keduanya dalam menyerang polisi tanpa menembak bagian tubuh mereka.
Tetapi Ian hampir menangis. Melihat Jemish seolah terkapar tak berdaya. Meski Ella bersama Oliver sibuk menembaki tanah. Ian tanpa sengaja menembak polisi tepat di tubuhnya dua kali. Padahal ia menargetkan tembakan ke kaca mobil polisi. Selagi Ella dan Oliver menghalau serangan, Ian berusaha menyeret tubuh Jemish masuk ke dalam gedung lagi perlahan-lahan sambil terus menembak. Hingga di pertarungan terakhir, Ian menembaki sepatu polisi sampai ia berteriak kesakitan lalu sembunyi di balik mobil petugas sebagai perlindungan.
Merasa sudah selesai, mereka langsung masuk ke gedung. Amon menutup pintu masuk. Dan Ian melepas topeng miliknya, mencoba panggil Jemish dan untungnya Jemish masih sadar, setelah topeng itu juga dibuka oleh Ian. Lelaki yang lebih muda empat tahun dari Jemish itu, memberi peluk, terang-terangan menunjukkan kekhawatiran. Bahkan ketika sedang dilanda pilu, Oliver tetap berteriak memarahi tindakan Jemish sekaligus Ian. Permulaan yang paling buruk. Sedangkan Ella hampir ikut menangis melihat keadaan Jemish.
Di luar, polisi yang masih sadar mencoba untuk panggil bala bantuan kepada markas. Melapor jika rekan petugasnya terluka. Mereka masih berada di depan gedung Badan Percetakan Uang Amerika. Terlalu fokus pada keadaan, polisi tersebut bahkan tidak memedulikan tas besar berisi uang di mana sengaja ditinggalkan para perampok, buat uang terbang berceceran.
Peluru M16 berhasil ditembakkan dengan kecepatan 3,510 kph dari senjata Ian. Lebih cepat dari kecepatan suara. Jadi kalau ada seseorang terkena tembakan di jantung, ia bahkan tak bisa mendengar peluru yang t'lah membunuh mereka. Dari rencana tersebut, Ian tahu bahwa dirinya t'lah melakukan kesalahan besar, dalam hitungan milidetik, pakai cara tak biasa, dari perampok menjadi seorang pembunuh. Mungkin memang benar jika kata orang-orang, menyampurkan cinta dan pekerjaan tidak akan pernah berhasil.
—
“Kalian harus betulan berhati-hati. Karena begitu ada darah menetes, kita tak'kan lagi menjadi pahlawan namun bajingan konyol.”
Perkataan Loren seolah-olah langsung datang menghantui pikiran Ian. Daritadi selepas masuk, akalnya kacau begitupun rencana yang tak sesuai dengan prediksi mereka sebelum hari perampokan datang. Ian melamun sendiri sampai hanya terdengar sayup-sayup omelan Oliver terhadap dirinya bersama tatapan penuh mencela rekan-rekan perampokannya.
“SINTING YA LO BERDUA?! BARU MULAI UDAH CEROBOH KAYAK GINI,” ucap Oliver lantang memendam penuh amarah kepada Ian juga Jemish. Meski Jemish terluka, ia tetap ikut andil melakukan kesalahan fatal akibat terlalu gegabah menjalankan tugas sehingga salah menghitung waktu. Sedangkan Ian menembak petugas sehingga pandangan masyarakat bisa menjadi semakin buruk terhadap mereka.
“Sial!” umpat Ella pelan sambil tatap nyalang pada Ian, lalu lanjut mengobati pelipis Jemish yang t'lah memulai masalah tersebut. Laki-laki bersurai abu-abu pun turut prihatin, ia angkat bicara setelah melihat kekacauan tadi. “Kacau banget, kenapa bisa seperti ini?” tanyanya lalu melempar pandang ke Ian dan Jemish dengan tatapan menuntut. Ian merasa tersudut, mulai tersulut kembali emosinya.
Terdengar decakan kasar dari Ian. “Lu semua mending tenang dulu deh,” ucapnya ketus, tentu jawaban tersebut mendapat respon geram dari rekan lain seperti Ella, ia gelengkan kepala, berusaha tak beranjak dari tempatnya mengobati Jemish.
“Lu gila? Bilang apa lu tadi? Tenang? IAN LU BARU AJA NEMBAK PETUGAS DAN RENCANA KITA GAGAL, GIMANA MAU TENANG?!” sembur Amon penuh emosi, dia tidak percaya dengan respon Ian yang terlihat begitu santai setelah menghancurkan rencana apik mereka.
“Dua petugas keparat itu muncul nyerang gue. Masa gue harus diem aja? Ya nggak bisalah, bangsat!” sanggah Ian.
“LO ITU NGGAK BOLEH NEMBAK PETUGAS!” teriak Oliver tepat berdiri di samping Ian.
Ella menatap Ian kesal. “Apa yang lu lakuin? Ikutin rencana semula, ya Tuhan, kita udah bahas ini 400 juta kali.” Mendengar perkataan Ella tersebut, Ian menjadi frustasi sehingga ia mulai mengusap seluruh wajah hingga ujung rambut. Lelah mendengar omelan rekannya.
Oliver menatap Ian tidak terima. “Kita udah sepakat untuk nggak nembak siapapun! Lu nggak ingat perkataan Loren. Atau gimana, dah?” Ian masih mencoba mencuri pandang Jemish, dan yang ditatap hanya diam. “Kita juga ngelindungin kalian dengan nembak ke tanah, enggak ke tubuh mereka.” Lagi-lagi Oliver masih lontarkan fakta dari kejadian tadi.
Ella pun membereskan obat merah setelah bersihkan luka Jemish. “Kita udah sepakat tentang ini sebelumnya, Ian, dan lu bikin kacau segalanya,” kata Ella dengan nada dingin.
Hening beberapa saat, semuanya tenggelam dalam pikiran sendiri-sendiri, mereka mencari cara paling terbaik untuk keluar dari krisis akibat kekacauan hebat rencana mereka. Dan ngomong-ngomong, komunikasi Kaz bersama mereka terputus sebab Amon tak mau semisal keributan ini didengar oleh Kaz lalu mengadu kepada Loren. Bisa-bisa tiada peluang mereka 'tuk memarahi dan menyalahkan kedua rekan.
“Kacau, udah enggak ada jalan keluar. Bahkan kita kelihatan seperti penjahat sungguhan sekarang.” Amon menghela napas lelah, dia sungguh frustasi karena tak dapat menemukan ide apapun dalam situasi genting macam ini.
Mendengar ucapan Amon membuat Jemish beri pandangan sangsi, “Kita emang udah ngerampok beneran, ya, brengsek, pasti jelaslah jadi penjahat,” balasnya ketus.
Mendengar sahutan Jemi membuat emosi Amon kembali meledak, terlihat jelas dari urat lehernya menonjol, “SHUT UP, JEMI! Ini semua juga gara-gara lu,” sahut Amon lebih keras.
“Gue ... gue jatoh, anjing!” jelas Jemish sambil terbata-bata, Amon yang mendengar alasan Jemish, menurutnya sangat tidak masuk akal sehingga merespon kesal, ia benar-benar tak butuh lagi penjelasan mereka karena jelas ia pun melihat semua kejadian tadi. “Udah gue bilang diem, alasan aneh apalagi yang mau lu sebutin?” tanya Amon malas, jadikan Jemish kesal pada respon pria berumur jauh lebih muda di bawahnya. “Lu nggak ada hak buat ngatur gue, tai.” Jemish tatap Amon jengkel.
“Diem, anjing. Kalian kayak bocah, tahu nggak? Emang dengan kalian berantem gini semua jadi selesai? Enggaklah, tolol,” sahut Oliver jengah dengan pertengkaran dua laki-laki itu.
Amon sudah kepalang kesal dengan Jemish tak lagi mendengar sahutan Oliver, dia semakin menjadi sudutkan Jemish. “Bukannya merasa bersalah setelah buat masalah malah makin nyolot.” Disuruh introspeksi diri rupanya kedua rekan itu. Jemish tidak senang disudutkan terus, ia melayangkan tatapan tidak percaya kepada Amon, di sini bukan hanya dia dalang pembuat kacau? Lantaran mengapa tidak ada habis-habisnya ia disalahkan melulu. “Emang gua doang yang bikin kacau? Yang lain juga, ya, anjing! Jangan salahin gua doang.”
“Ya terus siapa lagi? Emang sumbernya dari lu. Ian? Ian nembak petugas keamanan gara-gara lu, Jemi!” Amon juga tidak ada lelahnya menyahuti balasan Jemish. Sedangkan Ella merasa pertengkaran ini tidak akan ada titik akhir, memilih mengintip dari jendela untuk memantau kondisi petugas yang tadi ditembak oleh Ian, ternyata petugas satu lagi hanya mengalami luka ringan, segera Ella datang dan menghentikan pertengkaran Amon dan Jemish yang tak ada ujungnya. “Hentikan pertengkaran bodoh ini, mereka lagi mindahin petugas yang tadi Ian tembak, beruntungnya cuma kena luka ringan.” Seperti air di tengah padang gurun, kabar dari Ella membawa sedikit ketenangan mengalir ke suasana mencekam.
Tak menunggu lama, Amon langsung meminta Jemish untuk menghubungi Loren dan jua Kaz, Jemish tak ingin memulai pertengkaran lagi, sehingga langsung melakukan apa yang Amon suruh meski sedikit membanting alatnya ke meja ruang rapat tersebut. “Jem, teleponnya udah tersambung?” tanya Amon dengan suara yang lebih bersahabat dari sebelumnya.
Tepat setelah Amon bertanya, Jemish berhasil menghubungkannya, “Udah tersambung,” ucap Jemish sembari pandangan tak lepas dari telepon analog berwarna merah di hadapan.
“Good, putuskan semua jaringan nirkabel atau sinyal radio, Jemi. Alihkan semua komunikasi untuk pindah ke analog.” Amon berkata seperti itu sembari berkeliling ke seluruh tempat di mana anggota tim golongan A berdiri, coba hampiri mereka satu-persatu untuk meminta earpiece dikembalikan pada Amon karena mereka tak akan menggunakannya lagi.
Ponsel sudah terhubung ke Loren. Namun Kaz sedang tidak ada di tempat. Sunyi terdengar, mungkin ia sedang mengambil kembali waktu sarapannya. Dan Loren yang juga baru selesai menempelkan ponsel para sandera ke dinding dengan Roger, mendapat telepon dari golongan A, ia belum sepenuhnya tahu mengenai gagal rencana mereka, yang Loren paham hanyalah ada petugas tertembak menurut informasi dari Kaz sendiri. “Halo, boleh jelasin yang barusan terjadi itu apa?”
Amon menjawab. “Dua petugas tertembak.”
“Siapa yang menembak?”
Amon memberikan jawaban jujur lagi. “Ian.” Amon lalu bicara pada Jemish, “Sambungkan kamera CCTV biar nyampe ke Loren.” Dibalas anggukan olehnya. Kembali ia berbicara pada Loren, “Ada peluru yang menyasar dekat pelipis Jemish, lalu Ian lepas kontrol dan menembak petugas itu.” Ada sedikit hening sebelum Amon melanjutkan kalimat, dia menoleh ke arah Ian. “Kurasa mereka berdua berpacaran,” adunya.
Ian langsung mengangkat kepala dan menatap wajah Amon penuh intimidasi, dan Jemish juga ikut terpancing atas kalimat tersebut. “Enggak, ya, bangsat!” ia membalas sembari tatap Amon dengan kekesalan. “Jangan sok tahu lu, Amon.”
Amon terkekeh kecil. “Menyangkalnya jangan sekasar itu, Jemish, lu mirip sama orang yang beneran keciduk pacaran kalau begitu.”
Jemish menurunkan bahu. “Banyak bacot lu.”
Amon jadi ikutan bingung sendiri. “Gue cuman menyampaikan opini? Lagian keliatan banget.”
Jemish tak terima. “Opini lu nggak penting.” Ia jadi berpikir, sebenarnya menelepon Loren itu untuk mendengarkan pemfitnahan atau apa.
Loren yang jengah mendengar perdebatan dua orang keras kepala. Memotong pembicaraan mereka langsung dengan kalimat tenang. “Berikan teleponnya ke Ian, Amon.” Loren kemudian mencari tempat duduk begitupun Roger siap mendengar percakapan mereka.
Amon memberikan genggaman ponsel analog kepada Ian yang masih memandanginya kesal, sedangkan Amon melemparkan senyum manis. Ian beranjak dari kursi duduknya lalu berjalan mendekati genggaman telepon tersebut. Saat dipegang, Amon menyingkir. “Kenapa, Ren?”
Loren memandang kamera CCTV di mana terlihat pergerakan Ian begitu kasar saat mengambil genggaman telepon dari Amon. Jadi pertanyaan tidak terduga ia lontarkan, “Benar? Kamu berpacaran dengan Jemish?”
Ian menutup mata sejenak, berusaha kontrol dirinya agar tak emosi. “Menurut lu, gue udah pacaran sama dia? Ya enggaklah! Asal lu tahu. Di saat-saat lagi sibuk ngerampok kayak gini, enggak pernah gue kepikiran buat pacaran. Apalagi sama Jemish. Ngaco aja lu.”
Loren yang mendengarnya terheran-heran. Ia tak terlalu mempermasalahkan urusan pribadi mereka tetapi bila mereka mengira dia hanya memfitnah, jelas ia tak akan suka. Sebab Loren selalu bangun tengah malam, entah karena ia kebelet kencing, lapar di tengah malam, atau pun penyebabnya demi menyukseskan rencana perampokan mereka. Jadi, ia benar-benar tidak mengada-ada apalagi berbohong. Belum lagi Loren tahu bahwa Amon sering berkeliaran ke semua ruang hingga mampir ke kamar Jemish. “Lalu kenapa aku mendengar tempat tidurnya Jemish seperti dihantam palu tiap malam, ada pula suara berisik decitan kasur. Menurutmu dia berlatih tinju saat semua orang tidur?”
Semua yang mendengarnya terdiam, hampir menyemburkan tawa. Namun Ian dengan cepat mengelak. “Lu bicara apaan? Gue nggak tahu. Lu bisa tanya langsung aja ke orangnya.”
Loren diam tidak membalas. Wajahnya dihiasi penuh dengan senyuman tanpa arti. “Kenapa kamu menembak petugas?”
Ian membalas dengan nada ketus. “Gue nggak bisa terima anggota gue diserang apalagi luka. Apa gue harus biarin begitu aja? Apapun bakal gue lakuin demi ngelindungin anggota gue.”
Roger memberi kode agar Loren menyerahkan genggaman telepon analog tersebut kepada dirinya. Ia juga ingin menyahuti. “Ian, the things that you did make it even worse, that's what you called protecting your member? You're dumbass, just accept it.”
Jemish pun balas dengan berteriak. “Nggak semuanya berjalan sesuai rencana, pasti ada juga yang melenceng.” Amon pun kembali usil menyoraki. “Ya itu karena lu, bocah.” Dibalas lagi tak terima oleh Jemish. “Stop panggil gua, bocah, anjing.” Amon tersenyum tipis. “Kalau nggak bocah, apa? Orang bodoh?” Bahkan kini Jemish sudah sangat ingin melempar telepon analog di hadapannya ke wajah Amon. “Pintar ya lu dengan ngerendahin orang kayak gitu?”
Dan Roger membalas sebelum Amon berikan perlawanan terakhir. “At least he didn't do something stupid like you.” Amon merasa dibela, maka ia tak mau kalah. “Jelas gue lebih pinter dari lu, lu sekadar jalanin rencana aja gagal.” Jemish terlalu lelah untuk balas ucapan mereka lagi. Maka ia memilih diam.
Roger mengembalikan genggaman telepon kepada Loren. Ia langsung melontarkan kalimat serius. “Dengar, ya, semuanya. Kita di sini itu untuk satu urusan. Duit. Bukan jadi pembunuh. Aku tahu kalian tersudut tapi kita enggak bisa melawan karena itu bukan hak kita.”
Ada diam yang lama di antara mereka, Loren hampir mematikan telepon kalau saja Roger tidak menginterupsi kegiatannya. “Loren, sorry for interrupting you, tapi sebentar lagi ada polisi yang mau nyerang gedung percetakan uang Amerika.”
Mendengar itu, golongan A menjadi was-was dan beranjak dari tempat duduk mereka namun tidak dengan Ian. Loren langsung memberikan arahan. “Segera mungkin bangun barikade keamanan. Jangan ada kesalahan lagi, dan untuk Ian. Sebagai hukuman karena nembak polisi yang lagi bertugas. Rencana berikutnya silahkan jadi umpan untuk melindungi sandera dari serangan polisi.” Lalu telepon dimatikan.
Semua orang beranjak dari ruang rapat, melangkah cepat meninggalkan tempat menuju ke basemen dengan berniat menumpuk karung-karung tebal sebagai barikade keamanan tetapi Ian tak berangkat padahal ia pemimpin penyerangan tersebut. Entah kenapa dalam hatinya terdapat perasaan sesak akan pengakuan Jemish tadi kepada Amon.
—
4 bulan sebelum perampokan ...
Di mata, semua bagaikan batu ketika Jemish memandang Ian. Selagi bantu menyalakan sigaret milik Oliver. Ia pamit pergi lalu lewat di hadapan Roger dan Ian. Membisikkan kata maaf entah untuk apa. Saat Jemish pergi, Ian memberitahu Roger bahwa dirinya akan lari pagi sebentar.
“Eh, gua jogging dulu ya.” Dibalas anggukan oleh Roger, dan Ian meninggalkan markas dengan berlari dari sana. Ingin menyusul Jemish yang t'lah menunggunya di bebatuan.
Saat sampai, napas Ian sedikit terputus-putus. Mereka saling melempar senyum. Ian maju beberapa langkah mendekati Jemish. Ian gaet leher Jemish. Wajah keduanya berdekatan. Bagi Jemish, Ian itu semacam berlian yang berada dalam satu ruang, satu-satunya benda bersinar di antara berjuta-juta kemerlip lampu.
Ian membuka kelopak bibir tersebut. Jemish terlalu tua untuk semua seksisme ini. Tetapi peduli setan. Mereka hanya berdua sekarang. Jemish ikut menelusuri jejak, ia keluarkan setangkai lidah bertemu dengan akar pohon paling terkuat. Bunga juga bisa selemah kertas saat disembur terkena air. Jemish ambruk, ia kalah dalam peperangan memanggut bibir. Jelas Ian harus menerima hadiah, ia menanggalkan seluruh pakaiannya. Dibantu Jemish di mana saat itu menggunakan hoddie, yang lebih tua melucuti diri sendiri. Mereka menyatu. Saling mengecap rasa bibir, menghirup aroma segar udara di sekitar, mereka menyatu tanpa kata.
Tanpa siulan mengganggu dari sekumpulan burung kenari. Jauh dari dentingan gelas sampanye bersama asap-asap sigaret milik kawan kerja. Jemish dan Ian sibuk mencecapi kerangka badan mereka. Lebih dalam berdua tenggelam berbarengan dengan kemilau sinar mentari sore itu. Mengabaikan batu besar di bawah mereka yang tak pernah bisa pindah. Serta butiran pasir sedang ikut berlomba lawan Ian untuk ciumi Jemish dari kepala hingga kaki. Kerikil kalah telak. Mereka mencapai puncak. Perdana semujur cinta mereka bergetar sampai melemas bagian bawah berhenti gerak. Calak nian penyatuan mereka berdua itu.
—
BERSAMBUNG.
Ending yang sangat membagongkan
BalasHapusIan bener-bener ye
BalasHapusPlot nya berasa ril benerrrr
BalasHapus